Kamis, 31 Maret 2011

Mitologi Penyu dalam Ajaran Jawa Kuna



Bangsa penyu yang hidup dewasa ini dibedakan menjadi tiga. Kura-kura darat (tortoises), pada umumnya karapasnya berbentuk kubah tinggi dengan kaki seperti kaki gajah untuk berjalan di darat, gerakannya lambat. Kura-kura air tawar (terrapin / freshwater turtle / freshwater tortoises), kakinya berselaput untuk berenang di sungai, danau, sawah dan bisa juga berjalan di darat. Tempurungnya lebih rendah, jenisnya bervariasi. Penyu laut (sea turtles), kakinya berubah bentuk menjadi seperti dayung, leher,kepala dan anggota badan tidak dapat dimasukkan ke dalam tempurung. Dari sekian banyak jenis spesies yang ada, kini tinggal hanya enam jenis dari dua famili.

Dalam hukum penciptaan-Nya, keberadaan planet-planet di alam raya terlebih dahulu
kehadirannya dibandingkan dengan mahluk-mahluk hidup penghuni planet-planet tersebut. Ditegaskan latar belakang keberadaan Tribhuwana (tiga dunia) yang di dalamnya keberadaan individu berkembang. Tiga alam tersebut sebagai sebab tingkat kehidupan yang sangat dekat dengan kedewataan, dan dari pandangan manusia, hal itu dapat dianggap sebagai bentuk kedewataan. Planet-planet itu dihubungkan dengan penjelmaan-penjelmaan Sang Hyang Viṣṇu.

Viṣṇu sebagai pemberikan anugrah, mengambil wujud sebagai planet, memberikan
tempat untuk menikmati pahala dari tindakan (karma) bagi setiap mahluk hidup. Dengan demikian tindakan ritual atau Yajña yang senantiasa diganggu oleh para raksasa, dan dikembangkan kekuasaan para dewatà, hal inilah yang ditegakan dan planet yang memberikan kemurahan senantiasa muncul setelah kemunculan yang lain sebelumnya. Rāma adalah inkarnasi Sūrya (matahari), Kṛṣṇa adalah inkarnasi dari Chandra (bulan), Narasiha addalah inkarnasi dari Mars, putra Bhumì. Buddha adalah inkarnasi Merkurius, putra dewi Candrà, Vāmana adalah yang terpelajar, guru para dewata, sepeerti Bhaspati (Jupiter), Paraśu Rāma dalah inkarnasi dari Venus, yang lahir dari api Homa (Bhgu), Kūrma adalah Saturnus, putra  Sūrya,

Sang Hyang Viṣṇu pada penjelmaan-Nya yang ke-dua berwujud seekor empas (Kūrma), untuk menemukan kembali sesuatu yang hilang pada saat banjir besar. Para dewata dan
raksasa mengaduk lautan susu, menggunakan ular naga (Vāsuki) sebagai tali pemutarnya, dan gunung Mandara sebagai porosnya. Mereka kemudian memperolehnya ketika Sang Hyang Viṣṇu menjelma sebagai seekor kura-kura sebagai landasan pendukung gunung Mandara. Dari pengandukan Kûira Arnava (lautan susu) muncul kemudian tìrtha Amåta (nectar), sebagai intisari kehidupan, Dhanvantari, tabib para dewata yang membawa cupu Amta. Selanjutnya muncul dewi Lakśmì (dewi keberuntungan), Vārui (dewi yang memabukkan), Soma (minuman persembahan), Apsara (bidadari), Uccaiāśrava, kuda kedewataan, Kaustubhamai (permata Kaustubha), Pārijāta, Surabhi (lembu yang memenuhi keinginan manusia), Airāvata (kuda kahyangan), Pàñcajanya (sangka atau terompet kerang), Śàròga (busur), dan Hālāhala (racun).

Ide bahwa bumi berbentuk Kūrma dapat dijumpai dalam banyak negara, seperti India, China, Jepang dan Amerika. Di dalam Hindu sangat populer bumi digambarkan sebagai kubah angkasa, ditunjukkan merupakan tempat empat ekor gajah di belakang punggung penyu pada setiap penjuru. Kūrma itu mengambang di permukaan air, diikat oleh seekor ular. Di sini jelas bagi kita, bahwa Kūrma melambangkan bumi dan ular melambangkan laut, yakni pula di Kutub Utara di samudra Antartika.

Dalam perkembangan belakangan, dipercaya bahwa bumi terletak di atas seekor kura-kura (empas) yang disebut Akùpàra. Ide yang sama dapat juga dijumpai di Amerika Utara dan Indian Amerika, bahwa mereka percaya terhadap gempa bumi yang disebabkan oleh gerakan kura-kura (empas) yang diyakini sebagai pendukung (sebagai landasan) dari bumi.

Lebih jauh untuk mendapatkan Amta (nektar keabadian) para dewa dan raksasa melaksanakan pemutaran (mengaduk) lautan susu. Sang Hyang Viṣṇu menjelma sebagai empas untuk mendukung (sebagai landasan gunung Meru) yang dipakai sebagai tongkat pengaduk. Naga Vāsuki digunakan sebagai tali pemutar tongkat gunung tersebut. Untuk dapat mengerti makna mitos ini, kami menginterpretasikan simbol-simbol utama, sebagai Samudra Susu (Samudra Antartika yang selalu membeku), Gunung Meru (Gunung Kutub Utara), Kūrma (Empas, pulau di kutub utara) dan Vāsuki (konstelasi kumpulan bintang, Draco)

Mitologi ini adalah penggambaran ketika gunung Meru meletus, gunung berapi yang aktif (telah tenggelam pada jaman purba). Bencana alam ini sesuai dengan kedudukan
bintang kutub Utara pada posisi alpha Draconis. Ide pemutaran diambil (dipinjam) dari perubahan yang mendadak bintang-bintang yang mengelilingi bintang kutub (Pole Star). Mitologi ini sangat menyerupai mitologi Jepang Kuno tentang mitos penciptaan.

Di olah dari tulisan Shri Danu D.P ( I Wayan Sudarma)

2 komentar:

Kupas Tuntas Hubungan Peradaban Kuno Atlantis, Legenda Lemuria dengan Indonesia