Kita tahu bahwa potensi kekayaan Indonesia begitu melimpah jika dilihat dari tingkat ketersediaan sumber daya alam di negeri ini. Selain memiliki berbagai bahan tambang dan mineral yang terkandung di perutnya, permukaan tanah kita pun sangat subur, hal ini masih ditambah iklim tropis wilayah ini yang seharusnya membuat kita tak punya hambatan berarti untuk bercocok tanam. Menurut Denys Lombard dalam Nusa Jawa; Silang Budaya, Jilid 1, yang tidak didapatkan bangsa-bangsa Eropa untuk memperkaya dirinya di Indonesia hanyalah bijih besi yang harus mereka bawa dari negeri asalnya. Saya tidak tahu apakah ada negara lain di dunia ini yang memiliki berbagai macam kekayaan yang sedemikian beragam sebagaimana yang dimiliki Indonesia. Karenanya tak heran jika sejak dulu hingga kini banyak pihak asing yang ngiler dan ngotot untuk mempertahankan kedudukannya di Indonesia.
Selain itu kita juga tahu bahwa sebagai sebuah fakta geografis, luas wilayah negara kita didominasi oleh bentangan lautan yang terhampar merata dari titik terluar Sumatera sampai ke Papua. Secara umum sering dikatakan bahwa luas lautan kita mencapai dua pertiga dari keseluruhan luas wilayah Indonesia. Implikasi logis dari fakta tersebut adalah, kekayaan terbesar negara kita sebenarnya ada di lautan. Namun kita sering melupakan fakta tersebut, sehingga membuat lautan negara ini begitu tak terurus. Padahal tak kurang-kurangnya di sekolah kita diajarkan bahwa lautan bukanlah pemisah, namun penghubung antar pulau Indonesia.
Sebuah artikel berjudul Di Laut Kita Jaya di harian Kompas (5 September 2008) menyebutkan bahwa 80 persen lebih dari sekitar 7.000 kapal penangkap ikan berizin operasi di lautan kita merupakan milik asing yang diberi bendera merah putih. Ini belum dihitung dengan kapal-kapal tak berizin yang masuk ke wilayah kita. Bahkan 6,7 ton hasil tangkapan ikan laut kita sebagian besarnya dinikmati oleh pihak asing. Mengapa hal demikian bisa terjadi, padahal secara yuridis bangsa kita telah menyadari hal ini dengan disahkannya Deklarasi Djoeanda pada 13 Desember 1957. Kasus terlepasnya pulau Sipadan dan Ligitan ke pangkuan Malaysia beberapa tahun lalu mempertegas kelemahan bangsa ini di sebagian besar wilayahnya. Hal ini masih disusul dengan insiden Ambalat yang membuat kita tahu bahwa kekuasaan kita di lautan sudah begitu tak dihormatinya oleh tetangga kita.
Jika dirunut, sudah sejak lama negeri ini tak mau lagi melihat ke lautnya. Selama rezim orde baru kita senantiasa disuguhkan kesadaran tentang pentingnya agraria kita tanpa mengimbanginya dengan wawasan maritim, hal yang sempat digugat oleh alm. Mahbub Djunaidi Memang kita sempat mencatat prestasi swasembada beras selama bertahun-tahun dengan itu, tapi akibatnya lautan kita menjadi sepi perhatian. Baru pada fase-fase akhir kekuasaannya Soeharto sempat mendeklarasikan Indonesia sebagai negara maritim. Argumen terlalu luasnya lautan kita untuk bisa diawasi dengan baik, yang sering dipakai untuk menjawab kelemahan kita di lautan justru kian menggambarkan permasalahan sebenarnya bahwa kita tidak mempunyai keseriusan di wilayah ini.
Fakta-fakta ini sungguh bertolak belakang dengan catatan sejarah tentang kejayaan kerajaan Sriwijaya yang membuat bangsa lain terkagum-kagum, baik dalam hal kemampuan pelautnya melintasi untuk mengembarai berbagai tempat di muka bumi, maupun dalam hal teknologi maritimnya. Bahkan mereka sempat menguasai jalur transportasi di sekitar wilayah Asia. Jika membaca paparan Lombard, hal ini dimungkinkan dengan wawasan yang dikembangkan para moyang kita yang tidak memfragmentasi wilayah berdasar garis pantai sebagaimana yang kita pahami saat ini. Konsep pembagian wilayah yang dilakukan ketika itu terkesan lebih arbitrer dengan mencakup wilayah daratan dan lautan. Di sebuah pembagian wilayah, misalnya, wilayah Sumatera terluar disatukan dengan daerah Malaysia hingga ke Kalimantan. Dalam pandangan seperti ini tentu semboyan lautan sebagai penghubung akan terasa lebih relevan. Dalam catatan sejarah, kejayaan Sriwijaya ini sempat diteruskan oleh Majapahit, bahkan dalam skala yang lebih besar. Hal ini baru terputus dengan kedatangan para penjajah yang kemudian berkuasa sangat lama.
Sejarawan Agus Sunyoto pernah mengatakan bahwa kemunduran bangsa ini dari laut ke pedalaman juga dipicu oleh proses mistifikasi laut. Ia mengambil contoh mitos tentang Nyai Roro Kidul yang menurutnya tidak ditemui dalam perbendaharaan masyarakat Jawa saat masih berjaya di lautan. Mitos tersebut baru berkembang seiring dengan pudarnya kejayaan bangsa ini dari lautan. Hadirnya mitos tersebut membuat masyarakat terasing dari lautan, karena mereka menganggap bahwa laut adalah sebuah wilayah yang dikuasai oleh makhluk-makhluk asing dan tidak boleh diperlakukan sembarangan.
Kondisi ini patut membuat kita prihatin mengingat bangsa ini sudah hampir kehilangan segalanya di di daratan. Waktu 63 tahun terbukti tak bisa membuat negara kita kaya dengan hanya mengandalkan hasil-hasil tanah, meskipun hal ini juga dipicu oleh tak jelasnya manajemen pengolahan serta desakan pihak asing. Sudah saatnya kita kembali menengok ke laut dan meneriakkan lagi semboyan jales veva jaya mahe.