Selasa, 25 September 2012

Denys Lombard dalam Nusa Jawa; Silang Budaya

Kita tahu bahwa potensi kekayaan Indonesia begitu melimpah jika dilihat dari tingkat ketersediaan sumber daya alam di negeri ini. Selain memiliki berbagai bahan tambang dan mineral yang terkandung di perutnya, permukaan tanah kita pun sangat subur, hal ini masih ditambah iklim tropis wilayah ini yang seharusnya membuat kita tak punya hambatan berarti untuk bercocok tanam. Menurut Denys Lombard dalam Nusa Jawa; Silang Budaya, Jilid 1, yang tidak didapatkan bangsa-bangsa Eropa untuk memperkaya dirinya di Indonesia hanyalah bijih besi yang harus mereka bawa dari negeri asalnya. Saya tidak tahu apakah ada negara lain di dunia ini yang memiliki berbagai macam kekayaan yang sedemikian beragam sebagaimana yang dimiliki Indonesia. Karenanya tak heran jika sejak dulu hingga kini banyak pihak asing yang ngiler dan ngotot untuk mempertahankan kedudukannya di Indonesia.

Selain itu kita juga tahu bahwa sebagai sebuah fakta geografis, luas wilayah negara kita didominasi oleh bentangan lautan yang terhampar merata dari titik terluar Sumatera sampai ke Papua. Secara umum sering dikatakan bahwa luas lautan kita mencapai dua pertiga dari keseluruhan luas wilayah Indonesia. Implikasi logis dari fakta tersebut adalah, kekayaan terbesar negara kita sebenarnya ada di lautan. Namun kita sering melupakan fakta tersebut, sehingga membuat lautan negara ini begitu tak terurus. Padahal tak kurang-kurangnya di sekolah kita diajarkan bahwa lautan bukanlah pemisah, namun penghubung antar pulau Indonesia.

Sebuah artikel berjudul Di Laut Kita Jaya di harian Kompas (5 September 2008) menyebutkan bahwa 80 persen lebih dari sekitar 7.000 kapal penangkap ikan berizin operasi di lautan kita merupakan milik asing yang diberi bendera merah putih. Ini belum dihitung dengan kapal-kapal tak berizin yang masuk ke wilayah kita. Bahkan 6,7 ton hasil tangkapan ikan laut kita sebagian besarnya dinikmati oleh pihak asing. Mengapa hal demikian bisa terjadi, padahal secara yuridis bangsa kita telah menyadari hal ini dengan disahkannya Deklarasi Djoeanda pada 13 Desember 1957. Kasus terlepasnya pulau Sipadan dan Ligitan ke pangkuan Malaysia beberapa tahun lalu mempertegas kelemahan bangsa ini di sebagian besar wilayahnya. Hal ini masih disusul dengan insiden Ambalat yang membuat kita tahu bahwa kekuasaan kita di lautan sudah begitu tak dihormatinya oleh tetangga kita.

Jika dirunut, sudah sejak lama negeri ini tak mau lagi melihat ke lautnya. Selama rezim orde baru kita senantiasa disuguhkan kesadaran tentang pentingnya agraria kita tanpa mengimbanginya dengan wawasan maritim, hal yang sempat digugat oleh alm. Mahbub Djunaidi Memang kita sempat mencatat prestasi swasembada beras selama bertahun-tahun dengan itu, tapi akibatnya lautan kita menjadi sepi perhatian. Baru pada fase-fase akhir kekuasaannya Soeharto sempat mendeklarasikan Indonesia sebagai negara maritim. Argumen terlalu luasnya lautan kita untuk bisa diawasi dengan baik, yang sering dipakai untuk menjawab kelemahan kita di lautan justru kian menggambarkan permasalahan sebenarnya bahwa kita tidak mempunyai keseriusan di wilayah ini.

Fakta-fakta ini sungguh bertolak belakang dengan catatan sejarah tentang kejayaan kerajaan Sriwijaya yang membuat bangsa lain terkagum-kagum, baik dalam hal kemampuan pelautnya melintasi untuk mengembarai berbagai tempat di muka bumi, maupun dalam hal teknologi maritimnya. Bahkan mereka sempat menguasai jalur transportasi di sekitar wilayah Asia. Jika membaca paparan Lombard, hal ini dimungkinkan dengan wawasan yang dikembangkan para moyang kita yang tidak memfragmentasi wilayah berdasar garis pantai sebagaimana yang kita pahami saat ini. Konsep pembagian wilayah yang dilakukan ketika itu terkesan lebih arbitrer dengan mencakup wilayah daratan dan lautan. Di sebuah pembagian wilayah, misalnya, wilayah Sumatera terluar disatukan dengan daerah Malaysia hingga ke Kalimantan. Dalam pandangan seperti ini tentu semboyan lautan sebagai penghubung akan terasa lebih relevan. Dalam catatan sejarah, kejayaan Sriwijaya ini sempat diteruskan oleh Majapahit, bahkan dalam skala yang lebih besar. Hal ini baru terputus dengan kedatangan para penjajah yang kemudian berkuasa sangat lama.

Sejarawan Agus Sunyoto pernah mengatakan bahwa kemunduran bangsa ini dari laut ke pedalaman juga dipicu oleh proses mistifikasi laut. Ia mengambil contoh mitos tentang Nyai Roro Kidul yang menurutnya tidak ditemui dalam perbendaharaan masyarakat Jawa saat masih berjaya di lautan. Mitos tersebut baru berkembang seiring dengan pudarnya kejayaan bangsa ini dari lautan. Hadirnya mitos tersebut membuat masyarakat terasing dari lautan, karena mereka menganggap bahwa laut adalah sebuah wilayah yang dikuasai oleh makhluk-makhluk asing dan tidak boleh diperlakukan sembarangan.

Kondisi ini patut membuat kita prihatin mengingat bangsa ini sudah hampir kehilangan segalanya di di daratan. Waktu 63 tahun terbukti tak bisa membuat negara kita kaya dengan hanya mengandalkan hasil-hasil tanah, meskipun hal ini juga dipicu oleh tak jelasnya manajemen pengolahan serta desakan pihak asing. Sudah saatnya kita kembali menengok ke laut dan meneriakkan lagi semboyan jales veva jaya mahe.

Senin, 24 September 2012

Menyongsong Ramalan Kedelapan Jayabaya

Ditulis Oleh Sujiwo Tejo

Ramalan ke-8 Jayabaya kita yakini akan terjadi dalam waktu singkat jika peristiwa nyata akhir-akhir ini kita lihat sebagai pertanda. Misalnya, gerakan rakyat mengumpulkan koin solidaritas buat Prita Mulyasari juga kita yakini sebagai pertanda awal terjadinya ramalan ke-7 Jayabaya, yaitu Tikus pithi anoto baris. Dengan kata lain, terjadi barisan pemberontakan rakyat dari berbagai penjuru Nusantara.

Misalnya, gejolak di berbagai daerah yang nyaris rata di Nusantara atas kacaunya daftar pemilih tetap pada pemilu lalu, gerakan sejuta Facebooker untuk mendukung Bibit dan Chandra. Kemudian gerakan nyaris semiliar koin buat Prita, meratanya demo nasabah kasus Bank Century, dan terperangahnya masyarakat atas terbitnya buku Gurita Cikeas karya George Junus Aditjondro.... Semua itu kalau diibaratkan musik adalah intro bagi lagu mars.

Itulah mars barisan pemberontakan rakyat semesta. Itulah makna Tikus pithi anoto baris alias tikus pithi menata barisan. Tikus pithi adalah tikus kecil-kecil kemerahan yang bisa merubung dan menggerogoti, bahkan baju dan celana yang sedang kita pakai.

***

Saya yakin ramalan ke-8 Jayabaya akan terbukti tak lama setelah ramalan ketujuhnya berlangsung. Dan, saya yakin ramalan ketujuhnya terbukti karena enam ramalan sebelumnya sudah terbukti. Yaitu, Murcane Sabdo palon noyo genggong (runtuhnya Majapahit), Semut ireng anak-anak sapi (masuknya Belanda), Kebo nyabrang kali (Belanda kenyang dan hengkang), Kejajah saumur jagung karo wong cebol kepalang (penjajahan Jepang selama 3,5 tahun sama angkanya dengan usia jagung 3,5 bulan), Pitik tarung sak kandhang (perang saudara di zaman Bung Karno), dan Kodok ijo ongkang-ongkang (tentara berkuasa di era Soeharto).

Bagi yang tak percaya nubuat, nujum, atau ramalan, baiklah saya sampaikan pesan dari para sejarawan. Mereka mengingatkan kita, setiap tempat memiliki siklus sejarahnya masing-masing. Nusantara, menurut studi mereka, memiliki cakra manggilingan alias putaran 700 tahunan. Lihatlah kisaran 2012 adalah 700 tahunan waktu dari kejayaan Majapahit, dan dua kali 700 tahunan dari kejayaan Sriwijaya.

Bagi yang tak percaya klenik, terawangan alias ''penglihatan'', baiklah juga saya sampaikan pesan dari dunia ilmiah, yakni fisika modern temuan abad ke-20. Bahwa chaos alias kekacauan akan terdorong ke arah chaos lebih lanjut sampai akhirnya ke puncak chaos. Di dalam puncak chaos itulah nanti terkandung energi internal yang mendorong keadaan kembali normal.

Pertanyaan saya, kurang chaos bagaimana lagi keadaan sekarang? Dan sekarang bukankah keadaan chaos itu tampak makin mengarah pada chaos lanjutan? Pada puncak chaos nanti, tak diperlukan lagi energi eksternal -misalnya campur tangan Amerika dan negara-negara asing lain- untuk mengembalikan keadaan menjadi normal. Pengembalian pada keadaaan normal akan terdorong dengan sendirinya oleh energi internal. Dan, kekuatan energi internal itulah yang sebenarnya menjadi landasan keyakinan orang banyak yang tak pernah luntur, yakni akan munculnya Satriya Piningit.

***

Saya yakin ramalan ke-8 Jayabaya segera terwujud karena tanda-tanda yang diisyaratkan rekan-rekan dari dunia paranormal cocok dengan orang-orang dari dunia ilmiah. Sebagai pendukung ramalan Jayabaya dari abad ke-11, ramalan Ronggowarsito sekitar 1,5 abad sebelum ditemukan teori chaos fisika modern, juga sesuai dengan prinsip-prinsip teori chaos.

Awal chaos adalah zaman Kalatida, zaman kekacauan pribadi-pribadi, sudah ditunjukkan setidaknya sejak era Soeharto yang berlanjut hingga era reformasi dan kemudian ditandai kacaunya penyelenggaraan Pemilu 2009. Chaos tersebut berlanjut ke ambang puncak chaos, yakni zaman Kalabendu, zaman kekacauan kolektif yang menyebabkan antara lain masyarakat tergugah meresponsnya dengan gerakan sejuta Facebookers untuk Bibit-Chandra atau pengumpulan koin untuk Prita.

Setelah Kalatida dan Kalabendu serta energi internal yang terkandung dalam Kalabendu cocok dengan teori chaos, Ronggowarsito jauh sebelum teori chaos ditemukan sudah meramalkan Kalasuba, zaman kesejahteraan setelah kita melewati Kalatida yang selanjutnya memuncak ke Kalabendu.

Saya yakin zaman Kalasuba akan muncul di Nusantara. Buku Prof Arysio Nunes dos Santos, Atlantis: The Lost Continent Finally Found terbitan 2005, menunjukkan bahwa kerajaan Atlantik yang pernah berjaya dan sampai sekarang masih misterius bisa jadi tempatnya tidak di mana-mana, melainkan ya... Nusantara ini.

Temuan pakar Amerika Latin yang terjemahan Indonesianya terbit Desember 2009 itu seakan memperkukuh studi kurang lebih 30 tahun Dennys Lombard melalui bukunya Nusa Jawa: Silang Budaya. Lombard, antropolog Prancis, menggarisbawahi secara lebih detail dan meyakinkan soal betapa istimewanya kedudukan Nusantara dahulu, sekarang, maupun -seharusnya- di masa yang akan datang.

Dan izinkan saya untuk selalu yakin pada harapan itu. (*)

 

 Link: http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=110294