Jakarta - Cerita rakyat tidak hanya memberi pesan moral, namun ada simbol-simbol tersembunyi di baliknya. Misalnya saja dongeng 'Bawang Merah Bawang Putih', yang ternyata membawa simbol kebudayaan di Indonesia sejak ribuan tahun silam.
Hal ini diungkapkan pakar genetika dan folklore dari Universitas Oxford, Inggris, Profesor Stephen Oppenheimer. Dalam buku Eden in The East: Benua yang Tenggelam di Asia Tenggara, Oppenheimer berteori bahwa cerita rakyat mampu melestarikan bentuk kebudayaan selama ribuan tahun.
Kisah ini sering kita dengar semasa kecil. Bahkan kisah versi modernnya dibuat dalam bentuk sinetron televisi. Bawang Merah yang merupakan saudara tiri, kerap berbuat jahat kepada Bawang Putih. Bawang Merah pada akhirnya terkena akibat dari perbuatannya dan Bawang Putih hidup berbahagia.
Nah, tema dua saudara yang bersaing menurut Oppenheimer, memiliki akar yang panjang ribuan tahun silam. Jauh mundur melampaui dongeng Eropa semacam Cinderella dan saudara tirinya, bahkan jauh mundur dari pengaruh Hindu atau Yunani sekalipun.
Dongeng dua saudara yang bersaing memiliki akar pada masyarakat neolitikum kuno di Asia Tenggara ribuan tahun silam. Persaingan dua saudara sebenarnya adalah simbol dari dinamika sebuah siklus kehidupan dan kesuburan bumi. Ada yang menang dan ada yang kalah, ada yang baik dan ada yang jahat.
Di Indonesia, kisah persaingan dua saudara ini ada berbagai versi. Kisah ini ada juga di Bali, Maluku, Sulawesi, sampai Papua. Semua dengan nama berbeda tapi inti ceritanya sama.
Oppenheimer yakin kalau cerita ini menyebar dari Indonesia ke arah barat sejak 6.000 tahun lalu. Hal ini seiring dengan migrasi karena benua Sundaland tenggelam. Bahkan kata Oppenheimer, kisah semacam Bawang Merah Bawang Putih ini mengilhami kisah Seth dan Osiris di Mesir Kuno.
Ulasan Oppenheimer lebih lengkap bisa didapatkan dari buku Eden in The East yang diterbitkan oleh Ufuk Press.
(fay/nrl)
http://www.detiknews.com/read/2010/10/26/160228/1475559/10/bawang-merah-bawang-putih-bukan-sekadar-dongeng
Jumat, 26 November 2010
Rabu, 10 November 2010
Asal usul Bahasa & Kunci Pusat Dunia Berada di Indonesia
Jakarta - Indonesia dan kawasan Asia Tenggara diduga menjadi pusat dunia pada akhir Zaman Es. Profesor asal Oxford, Inggris, Stephen Oppenheimer, mencoba menelusurinya lewat asal usul bahasa manusia modern.
Dalam bukunya Eden in The East setebal 814 halaman itu, Oppenheimer berteori kalau bahasa manusia modern berawal dari kawasan Asia Tenggara. Saat benua Sundaland tenggelam ketika es mencair, para penduduk Sundaland yaitu Indonesia dan sekitarnya berimigrasi ke berbagai belahan dunia.
Mereka bertebaran di muka bumi 8.000-6.000 tahun lalu. Para penduduk Sundaland membawa bahasa mereka yang kemudian berkembang menjadi bahasa-bahasa dunia yang ada sekarang.
Oppenheimer mengatakan, ada semacam anomali dalam pohon percabangan kelompok bahasa di dunia, dan itulah kelompok bahasa Austronesia. Inilah bahasanya orang Indonesia dan orang Oseania. Ada garis tegas yang membedakan bahasa mereka dengan bahasa di belahan dunia lain.
Diduga, inilah bahasa purba yang tetap lestari sampai hari ini, ilmuwan menyebutnya Paleo-Hesperonesia. Menurut ilmuwan, ada 30 bahasa di Indonesia dan juga Malaysia yang masuk keluarga ini.
Di Indonesia misalnya, ada bahasa-bahasa yang ilmuwan pun bingung memasukkan mereka ke kelompok mana. Hanya faktor geografis yang membuat mereka masuk keluarga Austronesia.
Sebut saja bahasa Gayo, Batak, Nias, Mentawai, Enggano. Ilmuwan enggan memasukkan mereka ke keluarga bahasa Melayu karena memang berbeda. Bahasa Dayak Kayan, Kenyah dan Mahakam di Kalimantan juga berbeda. Sementara di Indonesia timur ada Bajo yang juga unik di Laut Sulu, Filipina Selatan.
Mereka ini adalah para petualang. Sebut saja orang Bajo yang gemar berlayar ke Flores, sehingga ada daerah bernama Labuhan Bajo. Oppenheimer menilai, ketika bangsa-bangsa dari kawasan ini menyebar, bahasa mereka pun berubah. Namun bahasa di tempat asal mereka tetap lestari sampai hari ini.
Penelitian Oppenheimer ini tentu menguatkan penelitian Arysio Santos yang menulis Atlantis: The Lost Continent. Walaupun, Oppenheimer memiliki teori sendiri yang sama sekali berbeda. Namun dia mencapai kesimpulan yang sama soal pentingnya Indonesia di akhir Zaman Es.
Nah jika anda ingin tahu lebih lanjut penelitian Oppenheimer, buku Eden in The East akan diterbitkan oleh Ufuk Press akhir bulan Oktober. Tunggu saja.
(fay/nrl)
http://www.detiknews.com/read/2010/10/22/161424/1472509/10/bahasa-kunci-pusat-dunia-berada-di-indonesia
Dalam bukunya Eden in The East setebal 814 halaman itu, Oppenheimer berteori kalau bahasa manusia modern berawal dari kawasan Asia Tenggara. Saat benua Sundaland tenggelam ketika es mencair, para penduduk Sundaland yaitu Indonesia dan sekitarnya berimigrasi ke berbagai belahan dunia.
Mereka bertebaran di muka bumi 8.000-6.000 tahun lalu. Para penduduk Sundaland membawa bahasa mereka yang kemudian berkembang menjadi bahasa-bahasa dunia yang ada sekarang.
Oppenheimer mengatakan, ada semacam anomali dalam pohon percabangan kelompok bahasa di dunia, dan itulah kelompok bahasa Austronesia. Inilah bahasanya orang Indonesia dan orang Oseania. Ada garis tegas yang membedakan bahasa mereka dengan bahasa di belahan dunia lain.
Diduga, inilah bahasa purba yang tetap lestari sampai hari ini, ilmuwan menyebutnya Paleo-Hesperonesia. Menurut ilmuwan, ada 30 bahasa di Indonesia dan juga Malaysia yang masuk keluarga ini.
Di Indonesia misalnya, ada bahasa-bahasa yang ilmuwan pun bingung memasukkan mereka ke kelompok mana. Hanya faktor geografis yang membuat mereka masuk keluarga Austronesia.
Sebut saja bahasa Gayo, Batak, Nias, Mentawai, Enggano. Ilmuwan enggan memasukkan mereka ke keluarga bahasa Melayu karena memang berbeda. Bahasa Dayak Kayan, Kenyah dan Mahakam di Kalimantan juga berbeda. Sementara di Indonesia timur ada Bajo yang juga unik di Laut Sulu, Filipina Selatan.
Mereka ini adalah para petualang. Sebut saja orang Bajo yang gemar berlayar ke Flores, sehingga ada daerah bernama Labuhan Bajo. Oppenheimer menilai, ketika bangsa-bangsa dari kawasan ini menyebar, bahasa mereka pun berubah. Namun bahasa di tempat asal mereka tetap lestari sampai hari ini.
Penelitian Oppenheimer ini tentu menguatkan penelitian Arysio Santos yang menulis Atlantis: The Lost Continent. Walaupun, Oppenheimer memiliki teori sendiri yang sama sekali berbeda. Namun dia mencapai kesimpulan yang sama soal pentingnya Indonesia di akhir Zaman Es.
Nah jika anda ingin tahu lebih lanjut penelitian Oppenheimer, buku Eden in The East akan diterbitkan oleh Ufuk Press akhir bulan Oktober. Tunggu saja.
(fay/nrl)
http://www.detiknews.com/read/2010/10/22/161424/1472509/10/bahasa-kunci-pusat-dunia-berada-di-indonesia
Sabtu, 06 November 2010
Benua Tenggelam Itu Bernama Sundaland
Bogor - Benua yang tenggelam di Asia Tenggara dinamakan Sundaland. Apakah benar nama ini terkait dengan peran Indonesia yang penting sejak zaman es?
Penulis buku 'Eden in The East: Benua yang Tenggelam di Asia Tenggara', Stephen Oppenheimer, dalam wawancara dengan detikcom mengatakan kalau Sundaland adalah nama yang sudah diakui di dunia.
Sundaland untuk menyebut paparan benua yang sebagian tenggelam di Asia Tenggara yaitu Indonesia dan sekitarnya.
"Sundaland sudah menjadi istilah geologis. Istilah ini sudah lama," kata Oppenheimer di sela-sela diskusi 'Reinventing Sunda' di Hotel Salak, Bogor.
Oppenheimer maklum kalau orang Indonesia akan memahami Sundaland sebagai Jawa Barat. Namun Sundaland untuk ahli geologi adalah sebuah paparan benua.
"Saya tidak tahu kenapa yang dipilih namanya adalah Sunda, bukan pulau lain di Indonesia," jelas dia.
Penjelasan Oppenheimer diperjelas oleh guru besar geologi Unpad Prof Adjat Sudrajat dalam kesempatan yang sama. Menurut Adjat, Sundaland adalah nama pemberian para pembuat peta dari Portugis.
"Saat Portugis menjelajah sampai Indonesia, mereka membuat peta. Karena di Jawa sudah ada kerajaan Sunda, semua wilayah disebut Sundaland," kata Adjat.
Peta ini adalah peta ilmiah untuk perkembangan ilmu geografi di Eropa. Peta inilah yang diperkenalkan kepada ilmuwan Eropa.
"Semua pakai nama Sunda. Ada pulau Sunda Besar, Sunda Kecil, sampai Laut Sunda," jelas dia.
Oleh karena itu, Asia Tenggara dalam istilah geografi dan geologi disebut Sundaland. Barulah perkembangan zaman memberikan nama Indonesia, Malaysia, dan seterusnya.
"Tapi kalau bicara geologis, tetap Sundaland," tutup Adjat.
(fay/lrn)
http://detiknews.com/read/2010/10/27/155529/1476738/10/kenapa-benua-tenggelam-itu-bernama-sundaland?nd992203topnews
Penulis buku 'Eden in The East: Benua yang Tenggelam di Asia Tenggara', Stephen Oppenheimer, dalam wawancara dengan detikcom mengatakan kalau Sundaland adalah nama yang sudah diakui di dunia.
Sundaland untuk menyebut paparan benua yang sebagian tenggelam di Asia Tenggara yaitu Indonesia dan sekitarnya.
"Sundaland sudah menjadi istilah geologis. Istilah ini sudah lama," kata Oppenheimer di sela-sela diskusi 'Reinventing Sunda' di Hotel Salak, Bogor.
Oppenheimer maklum kalau orang Indonesia akan memahami Sundaland sebagai Jawa Barat. Namun Sundaland untuk ahli geologi adalah sebuah paparan benua.
"Saya tidak tahu kenapa yang dipilih namanya adalah Sunda, bukan pulau lain di Indonesia," jelas dia.
Penjelasan Oppenheimer diperjelas oleh guru besar geologi Unpad Prof Adjat Sudrajat dalam kesempatan yang sama. Menurut Adjat, Sundaland adalah nama pemberian para pembuat peta dari Portugis.
"Saat Portugis menjelajah sampai Indonesia, mereka membuat peta. Karena di Jawa sudah ada kerajaan Sunda, semua wilayah disebut Sundaland," kata Adjat.
Peta ini adalah peta ilmiah untuk perkembangan ilmu geografi di Eropa. Peta inilah yang diperkenalkan kepada ilmuwan Eropa.
"Semua pakai nama Sunda. Ada pulau Sunda Besar, Sunda Kecil, sampai Laut Sunda," jelas dia.
Oleh karena itu, Asia Tenggara dalam istilah geografi dan geologi disebut Sundaland. Barulah perkembangan zaman memberikan nama Indonesia, Malaysia, dan seterusnya.
"Tapi kalau bicara geologis, tetap Sundaland," tutup Adjat.
(fay/lrn)
http://detiknews.com/read/2010/10/27/155529/1476738/10/kenapa-benua-tenggelam-itu-bernama-sundaland?nd992203topnews
Selasa, 02 November 2010
Kisah Banjir Setinggi Gunung di Pedalaman Indonesia
Jakarta - Sejumlah suku di Indonesia ternyata memiliki kisah banjir di masa silam yang bebas dari pengaruh agama samawi. Oleh karena itu, seorang ilmuwan dari Universitas Oxford, Inggris pun yakin, di Indonesia-lah, peradaban di Zaman Es dan kisah banjir berasal.
Hal ini diungkapkan Professor Stephen Oppenheimer yang mengarang buku Eden in The East: Benua yang Tenggelam di Asia Tenggara. Oppenheimer yang terjun langsung meneliti dari pedalaman Papua sampai Kalimantan, menemukan kalau kisah banjir di masa silam di kawasan Indonesia dan sekitarnya, lebih banyak dan beragam dari belahan dunia lain.
Umat Islam, Kristen dan Yahudi mengenal kisah banjir Nabi Nuh dari kitab suci. Sementara peradaban kuno lain dari Mesopotamia sampai India dan Yunani, punya versi sendiri yang mirip dengan kisah Nabi Nuh. Namun di Indonesia dan sekitarnya, kisah banjirnya bisa sangat berbeda.
Oppenheimer mengumpulkan kisah 'banjir setinggi gunung' dari Sabang sampai Merauke. Namun bedanya dengan kisah banjir Nuh, sebagian dongeng banjir di Indonesia tidak memuat cerita menyelamatkan diri dengan perahu.
Oppenheimer pun menduga, suku-suku di pedalaman Indonesia khususnya di Indonesia timur, adalah keturunan dari mereka yang selamat pada saat Zaman Es, tanpa harus berimigrasi ke luar Indonesia. Dalam sebagian dongeng mereka, sang kakek moyang cukup naik ke puncak gunung yang tinggi.
Beberapa hewan memegang peranan penting dalam bencana alam itu. Misalnya saja penduduk Alor di NTT, menurut mereka ikan gergaji raksasa menenggelamkan benua dan memotong-motongnya menjadi beberapa pulau kecil.
Masyarakat di Pulau Seram punya dongeng nenek moyang meraka, yang diselamatkan dari banjir oleh elang laut yang membawa mereka ke sebuah pulau. Masyarakat Toraja pun punya dongeng banjir setinggi gunung dan mereka menyelamatkan diri naik palung tempat makan babi.
Suku Dayak Ot Danum di Barito, Kalimantan Selatan juga punya kisah banjir yang menenggelamkan benua kecuali dua gunung, dan mereka menyelamatkan diri ke gunung itu. Suku Dayak Iban punya Nabi Nuh versi mereka bernama Trow yang menyelamatkan diri naik lesung membawa hewan piaraan.
Masih banyak contoh dongeng banjir lain yang dikisahkan Oppenheimer dalam bukunya yang setebal 814 halaman itu. Meski pun ada unsur cerita yang sama dengan kisah banjir Nuh, namun secara keseluruhan kisahnya berbeda dengan dongeng banjir di kitab suci ataupun peradaban kuno lain.
Oleh karena itu, Oppenheimer menilai kisah banjir di Nusantara adalah orisinil dan sudah ada sebelum masuknya Islam dan Kristen ke kawasan ini. Itu sebabnya dia berpendapat kalau Indonesia dan kawasan Asia Tenggara adalah benua yang tenggelam saat banjir besar di akhir Zaman Es.
Oppenheimer masih menyimpan banyak kejutan lain di dalam bukunya. Jika Anda tertarik, buku Eden in The East sudah diterbitkan oleh Ufuk Press.
(fay/asy)
http://www.detiknews.com/read/2010/10/25/130349/1474129/10/kisah-banjir-setinggi-gunung-di-pedalaman-indonesia?nd992203605
Hal ini diungkapkan Professor Stephen Oppenheimer yang mengarang buku Eden in The East: Benua yang Tenggelam di Asia Tenggara. Oppenheimer yang terjun langsung meneliti dari pedalaman Papua sampai Kalimantan, menemukan kalau kisah banjir di masa silam di kawasan Indonesia dan sekitarnya, lebih banyak dan beragam dari belahan dunia lain.
Umat Islam, Kristen dan Yahudi mengenal kisah banjir Nabi Nuh dari kitab suci. Sementara peradaban kuno lain dari Mesopotamia sampai India dan Yunani, punya versi sendiri yang mirip dengan kisah Nabi Nuh. Namun di Indonesia dan sekitarnya, kisah banjirnya bisa sangat berbeda.
Oppenheimer mengumpulkan kisah 'banjir setinggi gunung' dari Sabang sampai Merauke. Namun bedanya dengan kisah banjir Nuh, sebagian dongeng banjir di Indonesia tidak memuat cerita menyelamatkan diri dengan perahu.
Oppenheimer pun menduga, suku-suku di pedalaman Indonesia khususnya di Indonesia timur, adalah keturunan dari mereka yang selamat pada saat Zaman Es, tanpa harus berimigrasi ke luar Indonesia. Dalam sebagian dongeng mereka, sang kakek moyang cukup naik ke puncak gunung yang tinggi.
Beberapa hewan memegang peranan penting dalam bencana alam itu. Misalnya saja penduduk Alor di NTT, menurut mereka ikan gergaji raksasa menenggelamkan benua dan memotong-motongnya menjadi beberapa pulau kecil.
Masyarakat di Pulau Seram punya dongeng nenek moyang meraka, yang diselamatkan dari banjir oleh elang laut yang membawa mereka ke sebuah pulau. Masyarakat Toraja pun punya dongeng banjir setinggi gunung dan mereka menyelamatkan diri naik palung tempat makan babi.
Suku Dayak Ot Danum di Barito, Kalimantan Selatan juga punya kisah banjir yang menenggelamkan benua kecuali dua gunung, dan mereka menyelamatkan diri ke gunung itu. Suku Dayak Iban punya Nabi Nuh versi mereka bernama Trow yang menyelamatkan diri naik lesung membawa hewan piaraan.
Masih banyak contoh dongeng banjir lain yang dikisahkan Oppenheimer dalam bukunya yang setebal 814 halaman itu. Meski pun ada unsur cerita yang sama dengan kisah banjir Nuh, namun secara keseluruhan kisahnya berbeda dengan dongeng banjir di kitab suci ataupun peradaban kuno lain.
Oleh karena itu, Oppenheimer menilai kisah banjir di Nusantara adalah orisinil dan sudah ada sebelum masuknya Islam dan Kristen ke kawasan ini. Itu sebabnya dia berpendapat kalau Indonesia dan kawasan Asia Tenggara adalah benua yang tenggelam saat banjir besar di akhir Zaman Es.
Oppenheimer masih menyimpan banyak kejutan lain di dalam bukunya. Jika Anda tertarik, buku Eden in The East sudah diterbitkan oleh Ufuk Press.
(fay/asy)
http://www.detiknews.com/read/2010/10/25/130349/1474129/10/kisah-banjir-setinggi-gunung-di-pedalaman-indonesia?nd992203605