Rabu, 25 November 2009

KERAJAAN KANDIS “ATLANTIS NUSANTARA”

KERAJAAN KANDIS “ATLANTIS NUSANTARA”
ANTARA CERITA DAN FAKTA
(Sebuah Hipotesa Lokasi Awal Peradaban di Indonesia)

MAKALAH SEMINAR

 

 

Oleh:
PEBRI MAHMUD AL HAMIDI

 

 

MEI 2009

 

RINGKASAN

Nenek moyang bangsa Indonesia diduga kuat oleh para Arkeolog adalah ras Austronesia. Ras ini mendarat di Kepulauan Nusantara, dan memulai peradaban neolitik. Bukti arkeologi menunjukkan bahwa budaya neolitik dimulai sekitar 5000 tahun lalu di kepulauan Nusantara. Bersamaan dengan budaya baru ini bukti antropologi menunjukkan muncul juga manusia dengan ciri fisik Mongoloid. Populasi Mongoloid ini menyebar di kawasan Nusantara sekitar 5000 sampai 3000 tahun lalu dengan membawa bahasa Austronesia dan teknologi pertanian.

 

Di Nusantara saat ini paling tidak terdapat 50 populasi etnik Mongoloid yang mendiaminya. Budaya dan bahasa mereka tergolong dalam satu keluarga atau filum bahasa, yaitu bahasa-bahasa Austronesia yang menunjukkan mereka berasal dari satu nenek moyang. Lalu dari manakah populasi Austronesia ini berasal dan daerah manakah pertama kalinya mereka huni di Nusantara ini? Sebuah pertanyaan yang belum terjawab oleh riset sejarah selama ini. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah pengkajian dan analisis yang komprehensif tentang bukti sejarah yang ada dan menelusuri hubungan historis suatu daerah dengan daerah lainnya. Metode yang digunakan adalah mengumpulkan cerita/tombo yang ada di masyarakat dan penelusuran fakta yang mendukung tombo tersebut.

Kerajaan tertua di Pulau Jawa berdasarkan bukti arkeologis adalah kerajaan Salakanegara dibangun abad ke-2 Masehi yang terletak di Pantai Teluk Lada, Pandeglang Banten. Diduga kuat mereka berimigrasi dari Sumatra. Sedangkan Kerajaan tertua di Sumatra adalah kerajaan Melayu Jambi (Chu-po), yaitu Koying (abad 2 M), Tupo (abad ke 3 M), dan Kuntala/Kantoli (abad ke 5 M). Menurut cerita/tombo adat Lubuk Jambi yang diwarisi dari leluhur mengatakan bahwa disinilah lubuk (asal) orang Jambi, oleh karena itu daerah ini bernama Lubuk Jambi. Dalam tombo juga disebutkan di daerah ini terdapat sebuah istana kerajaan Kandis yang sudah lama hilang. Istana itu dinamakan istana Dhamna, berada di puncak bukit yang dikelilingi oleh sungai yang jernih. Penelusuran peninggalan kerajaan ini telah dilakukan selama 7 bulan (September 2008-April 2009), dan telah menemukan lokasi, artefak, dan puing-puing  yang diduga kuat sebagai peninggalan Kandis dengan ciri-ciri lokasi mirip dengan sketsa Plato (347 SM) tentang Atlantis. Namun penemuan ini perlu dilakukan penelitian arkeologis lebih lanjut.


PENDAHULUAN

Nusantara merupakan sebutan untuk negara kepulauan yang terletak di kepulauan Indonesia saat ini. Catatan bangsa Tionghoa menamakan kepulauan ini dengan Nan-hai yang berarti Kepulauan Laut Selatan. Catatan kuno bangsa India menamainya Dwipantara yang berarti Kepulauan Tanah Seberang, yang diturunkan dari kata Sanskerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang) dan disebut juga dengan Swarnadwiva (pulau emas, yaitu Sumatra sekarang). Bangsa Arab menyebut daerah ini dengan Jaza’ir al-Jawi (Kepulauan Jawa).

Migrasi manusia purba masuk ke wilayah Nusantara terjadi para rentang waktu antara 100.000 sampai 160.000 tahun yang lalu sebagai bagian dari migrasi manusia purba “out of Africa“. Ras Austolomelanesia (Papua) memasuki kawasan ini ketika masih bergabung dengan daratan Asia kemudian bergerak ke timur, sisa tengkoraknya ditemukan di gua Braholo (Yogyakarata), gua Babi dan gua Niah (Kalimantan). Selanjutnya kira-kira 2000 tahun sebelum Masehi, perpindahan besar-besaran masuk ke kepulauan Nusantara (imigrasi) dilakukan oleh ras Austronesia dari Yunan dan mereka menjadi nenek moyang suku-suku di wilayah Nusantara bagian barat. Mereka datang dalam 2 gelombang kedatangan yaitu sekitar tahun 2.500 SM dan 1.500 SM (Wikipedia, 2009).

Bangsa nenek moyang ini telah memiliki peradaban yang cukup baik, mereka paham cara bertani yang lebih baik, ilmu pelayaran bahkan astronomi. Mereka juga sudah memiliki sistem tata pemerintahan sederhana serta memiliki pemimpin (raja kecil). Kedatangan imigran dari India pada abad-abad akhir Sebelum Masehi memperkenalkan kepada mereka sistem tata pemerintahan yang lebih maju (kerajaan).

Kepulauan Nusantara saat ini paling tidak ada 50 populasi etnik yang mendiaminya, dengan karakteristik budaya dan bahasa tersendiri. Sebagian besar dari populasi ini dengan cirri fisik Mongoloid, mempunyai bahasa yang tergolong dalam satu keluarga atau filum bahasa. Bahasa mereka merupakan bahasa-bahasa Austronesia yang menunjukkan mereka berasal dari satu nenek moyang. Sedangkan di Indonesia bagian timur terdapat satu populasi dengan bahasa-bahasa yang tergolong dalam berbagai bahasa Papua.

Pusat Arkeologi Nasional telah berhasil meneliti kerangka berumur 2000-3000 tahun, yaitu penelitian DNA purba dari situs Plawangan di Jawa Tengah dan Gilimanuk Bali. Penelitian itu menunjukkan bahwa manusia Indonesia yang hidup di kedua situs tersebut telah berkerabat secara genetik sejak 2000-3000 tahun lalu. Pada kenyataannya hingga sekarang populasi manusia Bali dan Jawa masih memiliki kekerabatan genetik yang erat hingga sekarang.

Hasil penelitian Alan Wilson tentang asal usul manusia di Amerika Serikat (1980-an) menunjukkan bahwa manusia modern berasal dari Afrika sekitar 150.000-200.000 tahun lampau dengan kesimpulan bahwa hanya ada satu pohon filogenetik DNA mitokondria, yaitu Afrika. Hasil penelitian ini melemahkan teori bahwa manusia modern berkembang di beberapa penjuru dunia secara terpisah (multi origin). Oleh karena itu tidak ada kaitannya manusia purba yang fosilnya ditemukan diberbagai situs di Jawa (homo erectus, homo soloensis, mojokertensis) dan di Cina (Peking Man) dengan perkembangan manusia modern (homo sapiens) di Asia Timur. Manusia purba ini yang hidup sejuta tahun yang lalu merupakan missing link dalam evolusi. Saat homo sapiens mendarat di Kepulauan Nusantara, pulau Sumatra, Jawa dan Kalimantan masih tergabung dengan daratan Asia sebagai sub-benua Sundaland. Sedangkan pulau Papua saat itu masih menjadi satu dengan benua Australia sebagai Sahulland.

Teori kedua yang bertentangan dengan teori imigrasi Austronesia dari Yunan dan India adalah teori Harry Truman. Teori ini mengatakan bahwa nenek moyang bangsa Austronesia berasal dari dataran Sunda-Land yang tenggelam pada zaman es (era pleistosen). Populasi ini peradabannya sudah maju, mereka bermigrasi hingga ke Asia daratan hingga ke Mesopotamia, mempengaruhi penduduk lokal dan mengembangkan peradaban. Pendapat ini diperkuat oleh Umar Anggara Jenny, mengatakan bahwa Austronesia sebagai rumpun bahasa yang merupakan sebuah fenomena besar dalam sejarah manusia. Rumpun ini memiliki sebaran yang paling luas, mencakup lebih dari 1.200 bahasa yang tersebar dari Madagaskar di barat hingga Pulau Paskah di Timur. Bahasa tersebut kini dituturkan oleh lebih dari 300 juta orang. Pendapat Umar Anggara Jenny dan Harry Truman tentang sebaran dan pengaruh bahasa dan bangsa Austronesia ini juga dibenarkan oleh Abdul Hadi WM (Samantho, 2009).

Teori awal peradaban manusia berada di dataran Paparan Sunda (Sunda-Land) juga dikemukan oleh Santos (2005). Santos menerapkan analisis filologis (ilmu kebahasaan), antropologis dan arkeologis. Hasil analisis dari reflief bangunan dan artefak bersejarah seperti piramida di Mesir,  kuil-kuil suci peninggalan peradaban Maya dan Aztec, peninggalan peradaban Mohenjodaro dan Harrapa, serta analisis geografis (seperti luas wilayah, iklim, sumberdaya alam, gunung berapi, dan cara bertani) menunjukkan bahwa sistem terasisasi sawah yang khas Indonesia ialah bentuk yang diadopsi oleh Candi Borobudur, Piramida di Mesir, dan bangunan kuno Aztec di Meksiko. Setelah melakukan penelitian selama 30 tahun Santos menyimpulkan bahwa Sunda Land merupakan pusat peradaban yang maju ribuan tahun silam yang dikenal dengan Benua Atlantis.

Dari kedua teori tentang asal usul manusia yang mendiami Nusantara ini, benua Sunda-Land merupakan benang merahnya. Pendekatan analisis filologis, antropologis dan arkeologis dari kerajaan Nusantara kuno serta analisis hubungan keterkaitan satu dengan lainnya kemungkinan besar akan menyingkap kegelapan masa lalu Nusantara. Penelitian ini bertujuan untuk menelusuri peradaban awal Nusantara yang diduga adalah kerajaan Kandis.

TINJAUAN PUSTAKA

Nusantara dalam Lintasan Sejarah

Kepulauan Nusantara telah melintasi sejarah berabad-abad lamanya. Sejarah Nusantara ini dapat dikelompokkan menjadi lima fase, yaitu zaman pra sejarah, zaman Hindu/Budha, zaman Islam, zaman Kolonial, dan zaman kemerdekaan. Kalau dirunut perjalanan sejarah tersebut zaman kemerdekaan, kolonial, dan zaman Islam mempunyai bukti sejarah yang jelas dan tidak perlu diperdebatkan. Zaman Hindu/Budha juga telah ditemukan bukti sejarah walaupun tidak sejelas zaman setelahnya. Zaman sebelum Hindu/Budha masih dalam teka-teki besar, maka dalam menjawab ketidakjelasan ini dapat dilakukan dengan analisa keterkaitan antar kerajaan. Urutan tahun berdiri kerajaan di Indonesia dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1. Kerajaan di Indonesia berdasarkan tahun berdirinya

No Nama Kerajaan Lokasi Situs PerkiraanTahun Berdiri
1. Kerajaan Kandis* Lubuk Jambi, Riau Sebelum Masehi
2. Kerajaan Melayu Jambi Jambi Abad ke-2 M
3. Kerajaan Salakanegara Pandeglang, Banten 150 M
4. Kepaksian Skala Brak Kuno Gunung Pesagi, Lampung Abad ke-3 M
5. Kerajaan Kutai Muara Kaman, Kaltim Abad ke-4 M
6. Kerajaan Tarumanegara Banten Abad ke-4 M
7. Kerajaan Koto Alang Lubuk Jambi, Riau Abad ke-4 M
8. Kerajaan Barus Barus, Sumatra Utara Abad ke-6 M
9. Kerajaan Kalingga Jepara, Jawa Tengah Abad ke-6 M
10. Kerajaan Kanjuruhan Malang, Jawa Timur Abad ke-6 M
11. Kerajaan Sunda Banten-Jawa Barat 669 M
12. Kerajaan Sriwijaya Palembang, Sumsel Abad ke-7 M
13. Kerajaan Sabak Muara Btg. Hari, Jambi 730 M
14. Kerajaan Sunda Galuh Banten-Jawa Barat 735 M
15. Kerajaan Tulang Bawang Lampung 771 M
16. Kerajaan Medang Jawa Tengah 820 M
17. Kerajaan Perlak Peureulak, Aceh Timur 840 M
18. Kerajaan Bedahulu Bali 882 M
19. Kerajaan Pajajaran Bogor, Jawa Barat 923 M
20. Kerajaan Kahuripan Jawa Timur 1009 M
21. Kerajaan Janggala Sidoarjo, Jawa Timur 1042 M
22. Kerajaan Kadiri/Panjalu Kediri, Jawa Timur 1042 M
23. Kerajaan Tidung Tarakan, Kalimantan Timur 1076 M
24. Kerajaan Singasari Jawa Timur 1222 M
25. Kesultanan Ternate Ternate, Maluku 1257 M
26. Kesultanan Samudra Pasai Aceh Utara 1267 M
27. Kerajaan Aru/Haru Pantai Timur, Sumatra Utara 1282 M
28. Kerajaan Majapahit Jawa Timur 1293 M
29. Kerajaan Indragiri Indragiri, Riau 1298 M
30. Kerajaan Panjalu Ciamis Gunung Sawal, Jawa Barat Abad ke-13 M
31. Kesultanan Kutai Kutai, Kalimantan Timur Abad ke-13 M
32. Kerajaan Dharmasraya Jambi 1341 M
33. Kerajaan Pagaruyung Batu Sangkar, Sumbar 1347 M
34. Kesultanan Aceh Banda Aceh 1360 M
35. Kesultanan Pajang Jawa Tengah 1365 M
36. Kesultanan Bone Bone, Sulawesi Selatan 1392 M
37. Kesultanan Buton Buton Abad ke-13 M
38. Kesultanan Malaka Malaka 1402 M
39. Kerajaan Tanjung Pura Kalimantan Barat 1425 M
40. Kesultanan Berau Berau 1432 M
41. Kerajaan Wajo Wajo, Sulawesi Selatan 1450 M
42. Kerajaan Tanah Hitu Ambon, Maluku 1470 M
43. Kesultanan Demak Demak, Jawa Tengah 1478 M
44. Kerajaan Inderapura Pesisir Selatan, Sumbar 1500-an M
45. Kesultanan Pasir/Sadurangas Pasir, Kalimantan Selatan 1516 M
46. Kerajaan Blambangan Banyuwangi, Jawa Timur 1520-an M
47. Kesultanan Tidore Tidore, Maluku Utara 1521 M
48. Kerajaan Sumedang Larang Jawa Barat 1521 M
49. Kesultanan Bacan Bacan, Maluku 1521 M
50. Kesultanan Banten Banten 1524 M
51. Kesultanan Banjar Kalimantan Selatan 1526 M
52. Kesultanan Cirebon Jawa Barat 1527 M
53. Kesultan Sambas Sambas, Kalimantan Barat 1590-an M
54. Kesultanan Asahan Asahan 1630 M
55. Kesultanan Bima Bima 1640 M
56. Kerajaan Adonara Adonara, Jawa Barat 1650 M
57. Kesultanan Gowa Goa, Makasar 1666 M
58. Kesultanan Deli Deli, Sumatra Utara 1669 M
59. Kesultanan Palembang Palembang 1675 M
60. Kerajaan Kota Waringin Kalimantan Tengah 1679 M
61. Kesultanan Serdang Serdang, Sumatra Utara 1723 M
62. Kesultanan Siak Sri Indrapura Siak, Riau 1723 M
63. Kasunanan Surakarta Solo, Jawa Tengah 1745 M
64. Kesltn. Ngayogyakarto Hadiningrat Yogyakarta 1755 M
65. Praja Mangkunegaran Jawa Tengah-Yogyakarta 1757 M
66. Kesultanan Pontianak Kalimantan Barat 1771 M
67. Kerajaan Pagatan Tanah Bumbu, Kalsel 1775 M
68. Kesultanan Pelalawan Pelalawan, Riau 1811 M
69. Kadipaten Pakualaman Yogyakarta 1813 M
70. Kesultanan Sambaliung Gunung Tabur 1810 M
71. Kesultanan Gunung Tabur Gunung Tabur 1820 M
72. Kesultanan Riau Lingga Lingga, Riau 1824 M
73. Kesultanan Trumon Sumatra Utara 1831 M
74. Kerajaan Amanatum NTT 1832 M
75. Kesultanan Langkat Sumatra Utara 1877 M
76. Republik Indonesia Kepulauan Nusantara 17-8-1945
Sumber: http://www.wikipedia.com (dengan olahan), *Tahun berdiri berdasarkan tombo adat

Dalam catatan sejarah terdapat informasi yang terputus antara zaman pra sejarah dengan zaman Hindu/Budha. Namun dari Tabel 1 diatas dapat diperoleh gambaran bahwa peradaban Nusantara kuno bermula di Sumatra bagian tengah dan ujung barat pulau Jawa. Dari abad ke-1 sampai abad ke-4 daerah yang dihuni meliputi Jambi (kerajaan Melayu Tua), Lampung (Kepaksian Skala Brak Kuno), dan Banten (kerajaan Salakanegara). Untuk mengetahui peradaban awal Nusantara kemungkinan besar dapat diketahui melalui analisa keterkaitan tiga kerajaan tersebut.

Kerajaan Melayu Tua di Jambi

Di daerah Jambi terdapat tiga kerajaan Melayu tua yaitu, Koying, Tupo, dan Kantoli. Kerajaan Koying terdapat dalam catatan Cina yang dibuat oleh K’ang-tai dan Wan-chen dari wangsa Wu (222-208) tentang adanya negeri Koying. Tentang negeri ini juga dimuat dalam ensiklopedi T’ung-tien yang ditulis oleh Tu-yu (375-812) dan disalin oleh Ma-tu-an-lin dalam ensiklopedi Wen-hsien-t’ung-k’ao. Diterangkan bahwa di kerajaan Koying terdapat gunung api dan kedudukannya 5.000 li di timur Chu-po (Jambi). Di utara Koying ada gunung api dan di sebelah selatannya ada sebuah teluk bernama Wen. Dalam teluk itu ada pulau bernama P’u-lei atau Pulau. Penduduk yang mendiami pulau itu semuanya telanjang bulat, lelaki maupun perempuan, dengan kulit berwarna hitam kelam, giginya putih-putih dan matanya merah. Melihat warna kulitnya kemungkinan besar penduduk P’u-lei itu bukan termasuk rumpun Proto-Negrito atau Melayu Tua yang sebelumnya menghuni daratan Sumatera (Wikipedia, 2009).

Menurut data Cina Koying telah melakukan perdagangan dalam abad ke 3 M juga di Pasemah wilayah Sumatra Selatan dan Ranau wilayah Lampung telah ditemukan petunjuk adanya aktivitas perdagangan yang dilakukan oleh Tonkin atau Tongkin dan Vietnam atau Fu-nan dalam abad itu juga. Malahan keramik hasil zaman dinasti Han (abad ke 2 SM sampai abad ke 2 M) di temukan di wilayah Sumatera tertentu.

Adanya kemungkinan penyebaran berbagai negeri di Sumatera Tengah hingga Palembang di Selatan dan Sungai Tungkal di utara digambarkan oleh Obdeyn (1942), namun dalam gambar itu kedudukan negeri Koying tidak ada. Jika benar Koying berada di sebelah timur Tupo atau Thu-po, Tchu-po, Chu-po dan kedudukannya di muara pertemuan dua sungai, maka ada dua tempat yang demikian yakni Muara Sabak Zabaq, Djaba, Djawa, Jawa dan Muara Tembesi atau Fo-ts’I, San-fo-tsi’, Che-li-fo-che sebelum seroang sampai di Jambi Tchan-pie, Sanfin, Melayur, Moloyu, Malalyu. Dengan demikian seolah-olah perpindahan Kerajaan Malayu Kuno pra-Sriwijaya bergeser dari arah barat ke timur mengikuti pendangkalan Teluk Wen yang disebabkan oleh sedimen terbawa oleh sungai terutama Batang Tembesi. Hubungan dagang secara langsung terjadi dalam perdagangan dengan negeri-negeri di luar di sekitar Teluk Wen dan Selat Malaka maka besar kemungkinan negeri Koying berada di sekitar Alam Kerinci.

Keberadaan Koying yang pernah dikenal di manca negara sampai abad ke 5 M sudah tidak kedengaran lagi. Diperkirakan setelah Koying melepaskan kekuasaanya atas kerajaan Kuntala, kejayaan pemerintahan Koying secara perlahan-lahan menghilang. Koying yang selama ini tersohor sebagai salah satu negara nusantara pemasok komoditi perdagangan manca negara sudah tidak disebut-sebut lagi. Keadaan seperti ini sebenarnya tidak dialami Koying saja, karena kerajaan lain pun yang pernah jaya semasa itu banyak pula yang mengalami nasib yang sama.

Namun yang jelas, di wilayah Alam Kerinci sebelum atau sekitar permulaan abad masehi telah terdapat sebuah pemerintahan berdaulat yang diakui keberadaanya oleh negeri Cina yang disebut dengan negeri Koying atau kerajaan Koying.

Kerajaan Kepaksian Sekala Brak

Sekala Brak adalah sebuah kerajaandi kaki Gunung Pesagi (gunung tertinggi di Lampung) yang menjadi cikal-bakal suku bangsa/etnis Lampung saat ini. Asal usul bangsa Lampung adalah dari Sekala Brak yaitu sebuah Kerajaan yang letaknya di dataran Belalau, sebelah selatan Danau Ranau yang secara administratif kini berada di Kabupaten Lampung Barat. Dari dataran Sekala Brak inilah bangsa Lampung menyebar ke setiap penjuru dengan mengikuti aliran Way atau sungai-sungai yaitu Way Komring, Way Kanan, Way Semangka, Way Seputih, Way Sekampung dan Way Tulang Bawang beserta anak sungainya, sehingga meliputi dataran Lampung dan Palembang serta Pantai Banten.

Dalam catatan Kitab Tiongkok kuno yang disalin oleh Groenevelt kedalam bahasa Inggris bahwa antara tahun 454 dan 464 Masehi disebutkan kisah sebuah Kerajaan Kendali yang terletak di antara pulau Jawa dan Kamboja. Hal ini membuktikan bahwa pada abad ke 3 telah berdiri Kerajaan Sekala Brak Kuno yang belum diketahui secara pasti kapan mulai berdirinya. Kerajaan Sekala Brak menjalin kerjasama perdagangan antar pulau dengan Kerajaan Kerajaan lain di Nusantara dan bahkan dengan India dan Negeri Cina.

Kerajaan Salakanegara

Kerajaan Salakanagara (Salaka=Perak) atau Rajatapura termasuk kerajaan Hindu. Ceritanya atau sumbernya tercantum pada Naskah Wangsakerta. Kerajaan ini dibangun tahun 130 Masehi yang terletak di pantai Teluk Lada (wilayah Kabupaten Pandeglang, Banten). Raja pertamanya yaitu Dewawarman yang memiliki gelar Prabu Darmalokapala Dewawarman Haji Rakja Gapura Sagara yang memerintah sampai tahun 168 M.

Dalam Babad suku Sunda, Kota Perak ini sebelumnya diperintah oleh tokoh Aki Tirem Sang Aki Luhur Mulya atau Aki Tirem, waktu itu kota ini namanya Pulasari. Aki Tirem menikahkan putrinya yang bernama Pohaci Larasati dengan Dewawarman. Dewawarman ini sebenarnya Pangeran yang asalnya dari negri Palawa di India Selatan. Daerah kekuasaan kerajaan ini meliputi semua pesisir selat Sunda yaitu pesisir Pandeglang, Banten ke arah timur sampai Agrabintapura (Gunung Padang, Cianjur), juga sampai selat Sunda hingga Krakatau atau Apuynusa (Nusa api) dan sampai pesisir selatan Swarnabumi (pulau Sumatra). Ada juga dugaan bahwa kota Argyre yang ditemukannya Claudius Ptolemalus tahun 150 M itu kota Perak atau Salaknagara ini. Dalam berita Cina dari dinasti Han, ada catatan dari raja Tiao-Pien (Tiao=Dewa, Pien=Warman) dari kerajaan Yehtiao atau Jawa, mengirim utusan/duta ke Cina tahun 132 M.

Mitologi Minangkabau

Orang Minangkabau mengakui bahwa mereka merupakan keturunan Raja Iskandar Zulqarnaen (Alexandre the Great) Raja Macedonia yang hidup 354-323 SM. Dia seorang raja yang sangat besar dalam sejarah dunia. Sejarahnya merupakan sejarah yang penuh dengan penaklukan daerah timur dan barat yang tiada taranya. Dia berkeinginan untuk menggabungkan kebudayaan barat dengan kebudayaan timur.

Dalam Tambo disebutkan bahwa Iskandar Zulkarnain mempunyai tiga anak, yaitu Maharajo Alif, Maharajo Dipang, dan Maharajo Dirajo. Maharajo Alif menjadi raja di Benua Ruhun (Romawi), Maharajo Dipang menjadi raja di negeri Cina, sedangkan Maharajo Dirajo menjadi raja di Pulau Emas (Sumatera).

Kalau kita melihat kalimat-kalimat tambo sendiri, maka dikatakan sebagai berikut: “…Tatkala maso dahulu, batigo rajo naiek nobat, nan surang Maharajo Alif, nan pai ka banda Ruhum, nan surang Maharajo Dipang nan pai ka Nagari Cino, nan surang Maharajo Dirajo manapek ka pulau ameh nan ko…” (pada masa dahulu kala, ada tiga orang yang naik tahta kerajaan, seorang bernama Maharaja Alif yang pergi ke negeri Ruhum (Eropa), yang seorang Maharajo Dipang yang pergi ke negeri Cina, dan seorang lagi bernama Maharajo Dirajo yang menepat ke pulau Sumatera).

Dalam versi lain diceritakan, seorang penguasa di negeri Ruhum (Rum) mempunyai seorang putri yang sangat cantik. Iskandar Zulkarnain menikah dengan putri tersebut. Dengan putri itu Iskandar mendapat tiga orang putra, yaitu Maharaja Alif, Maharaja Depang, dan Maharaja Diraja. Setelah ketiganya dewasa Iskandar berwasiat kepada ketiga putranya sambil menunjuk-nunjuk seakan-akan memberitahukan ke arah itulah mereka nanti harus berangkat melanjutkan kekuasaannya. Kepada Maharaja Alif ditunjuk kearah Ruhum, Maharaja Depang negeri Cina, Maharaja Diraja ke Pulau Emas (Nusantara).

Setelah Raja Iskandar wafat, ketiga putranya berangkat menuju daerah yang ditunjukkan oleh ayahnya. Maharaja Diraja membawa mahkota yang bernama “mahkota senggahana”, Maharaja Depang membawa senjata bernama “jurpa tujuh menggang”, Maharaja Alif membawa senjata bernama “keris sempana ganjah iris” dan lela yang tiga pucuk. Sepucuk jatuh ke bumi dan sepucuk kembali ke asalnya jadi mustika dan geliga dan sebuah pedang yang bernama sabilullah.

Berlayarlah bahtera yang membawa ketiga orang putra itu ke arah timur, menuju pulau Langkapuri. Setibanya di dekat pulau Sailan ketiga saudara itu berpisah, Maharaja Depang terus ke Negeri Cina, Maharaja Alif kembali ke negeri Ruhum, dan Maharaja Diraja melanjutkan pelayaran ke tenggara menuju sebuah pulau yang bernama Jawa Alkibri atau disebut juga dengan Pulau Emas (Andalas atau Sumatra sekarang). Setelah lama berlayar kelihatanlah puncak gunung merapi sebesar telur itik, maka ditujukan bahtera kesana dan berlabuh didekat puncak gunung itu. Seiring menyusutnya air laut mereka berkembang di sana.

Dari keterangan Tambo itu tidak ada dikatakan angka tahunnya hanya dengan istilah “Masa dahulu kala” itulah yang memberikan petunjuk kepada kita bahwa kejadian itu sudah berlangsung sangat lama sekali, sedangkan waktu yang mencakup zaman dahulu kala itu sangat banyak sekali dan tidak ada kepastiannya. Kita hanya akan bertanya-tanya atau menduga-duga dengan tidak akan mendapat jawaban yang pasti. Di kerajaan Romawi atau Cina memang ada sejarah raja-raja yang besar, tetapi raja mana yang dimaksudkan oleh Tambo tidak kita ketahui. Dalam hal ini rupanya Tambo Alam Minangkabau tidak mementingkan angka tahun selain dari mementingkan kebesaran kemasyuran nama-nama rajanya.

Mitologi Lubuk Jambi[2]

Pulau Perca adalah salah satu sebutan dari nama Pulau Sumatera sekarang. Pulau ini telah berganti-ganti nama sesuai dengan perkembangan zaman. Diperkirakan pulau ini dahulunya merupakan satu benua yang terhampar luas di bagian selatan belahan bumi. Karena perubahan pergerakan kulit bumi, maka ada benua-benua yang tenggelam ke dasar lautan dan timbul pulau-pulau yang berserakan. Pulau Perca ini timbul terputus-putus berjejer dari utara ke selatan yang dibatasi oleh laut. Pada waktu itu Pulau Sumatera bagaikan guntingan kain sehingga pulau ini diberi nama Pulau Perca. Pulau Sumatera telah melintasi sejarah berabad-abad lamanya dengan beberapa kali pergantian nama yaitu: Pulau Perca, Pulau Emas (Swarnabumi), Pulau Andalas dan terakhir Pulau Sumatra.

Pulau Perca terletak berdampingan dengan Semenanjung Malaka yang dibatasi oleh Selat Malaka dibagian Timur dan Samudra Hindia sebelah barat sebagai pembatas dengan Benua Afrika. Pulau Perca berdekatan dengan Semenanjung Malaka, maka daerah yang dihuni manusia pertama kalinya berada di Pantai Timur Pulau Perca karena lebih mudah dijangkau dari pada Pantai bagian barat. Pulau Perca yang timbul merupakan Bukit Barisan yang berjejer dari utara ke selatan, dan yang paling dekat dengan Semenanjung Malaka adalah Bukit Barisan yang berada di Kabupaten Kuantan Singingi sekarang, tepatnya adalah Bukit Bakau yang bertalian dengan Bukit Betabuh dan Bukit Selasih (sekarang berada dalam wilayah Kenagorian Koto Lubuk Jambi Gajah Tunggal, Kecamatan Kuantan Mudik, Kabupaten Kuantan Singingi, Propinsi Riau), sedangkan daratan yang rendah masih berada di bawah permukaan laut.

Nenek moyang Lubuk Jambi diyakini berasal dari keturunan waliyullah Raja Iskandar Zulkarnain. Tiga orang putra Iskandar Zulkarnain yang bernama Maharaja Alif, Maharaja Depang dan Maharaja Diraja berpencar mencari daerah baru. Maharaja Alif ke Banda Ruhum, Maharaja Depang ke Bandar Cina dan Maharaja Diraja ke Pulau Emas (Sumatra). Ketika berlabuh di Pulau Emas, Maharaja Diraja dan rombongannya mendirikan sebuah kerajaan yang dinamakan dengan Kerajaan Kandis yang berlokasi di Bukit Bakar/Bukit Bakau. Daerah ini merupakan daerah yang hijau dan subur yang dikelilingi oleh sungai yang jernih.

Maharaja Diraja sesampainya di Bukit Bakau membangun sebuah istana yang megah yang dinamakan dengan Istana Dhamna. Putra Maharaja Diraja bernama Darmaswara dengan gelar Mangkuto Maharaja Diraja (Putra Mahkota Maharaja Diraja) dan gelar lainnya adalah Datuk Rajo Tunggal (lebih akrab dipanggil). Datuk Rajo Tunggal memiliki senjata kebesaran yaitu keris berhulu kepala burung garuda yang sampai saat ini masih dipegang oleh Danial gelar Datuk Mangkuto Maharajo Dirajo. Datuk Rajo Tunggal menikah dengan putri yang cantik jelita yang bernama Bunda Pertiwi. Bunda Pertiwi bersaudara dengan Bunda Darah Putih. Bunda Darah Putih yang tua dan Bunda Pertiwi yang bungsu. Setelah Maharaja Diraja wafat, Datuk Rajo tunggal menjadi raja di kerajaan Kandis. Bunda Darah Putih dipersunting oleh Datuk Bandaro Hitam. Lambang kerajaan Kandis adalah sepasang bunga raya berwarna merah dan putih.

Kehidupan ekonomi kerajaan Kandis ini adalah dari hasil hutan seperti damar, rotan, dan sarang burung layang-layang, dan dari hasil bumi seperti emas dan perak. Daerah kerajaan Kandis kaya akan emas, sehingga Rajo Tunggal memerintahkan untuk membuat tambang emas di kaki Bukit Bakar yang dikenal dengan tambang titah, artinya tambang emas yang dibuat berdasarkan titah raja. Sampai saat ini bekas peninggalan tambang ini masih dinamakan dengan tambang titah.

Hasil hutan dan hasil bumi Kandis diperdagangkan ke Semenanjung Melayu oleh Mentri Perdagangan Dt. Bandaro Hitam dengan memakai ojung atau kapal kayu. Dari Malaka ke Kandis membawa barang-barang kebutuhan kerajaan dan masyarakat. Demikianlah hubungan perdagangan antara Kandis dan Malaka sampai Kandis mencapai puncak kejayaannya. Mentri perdagangan Kerajaan Kandis yang bolak-balik ke Semenanjung Malaka membawa barang dagangan dan menikah dengan orang Malaka. Sebagai orang pertama yang menjalin hubungan perdagangan dengan Malaka dan meninggalkan cerita Kerajaan Kandis dengan Istana Dhamna kepada anak istrinya di Semenanjung Melayu.

Dt. Rajo Tunggal memerintah dengan adil dan bijaksana. Pada puncak kejayaannya terjadilah perebutan kekuasaan oleh bawahan Raja yang ingin berkuasa sehingga terjadi fitnah dan hasutan. Orang-orang yang merasa mampu dan berpengaruh berangsur-angsur pindah dari Bukit Bakar ke tempat lain di antaranya ke Bukit Selasih dan akhirnya  berdirilah kerajaan Kancil Putih di Bukit Selasih tersebut.

Air laut semakin surut sehingga daerah Kuantan makin banyak yang timbul. Kemudian berdiri pula kerajaan Koto Alang di Botung (Desa Sangau sekarang) dengan Raja Aur Kuning sebagai Rajanya. Penyebaran penduduk Kandis ini ke berbagai tempat yang telah timbul dari permukaan laut, sehingga berdiri juga Kerajaan Puti Pinang Masak/Pinang Merah di daerah Pantai (Lubuk Ramo sekarang). Kemudian juga berdiri Kerajaan Dang Tuanku di Singingi dan kerajaan Imbang Jayo di Koto Baru (Singingi Hilir sekarang).

Dengan berdirinya kerajaan-kerajaan baru, maka mulailah terjadi perebutan wilayah kekuasaan yang akhirnya timbul peperangan antar kerajaan. Kerajaan Koto Alang memerangi kerajaan Kancil Putih, setelah itu kerajaan Kandis memerangi kerajaan Koto Alang dan dikalahkan oleh Kandis. Kerajaan Koto Alang tidak mau diperintah oleh Kandis, sehingga Raja Aur Kuning pindah ke daerah Jambi, sedangkan Patih dan Temenggung pindah ke Merapi.

Kepindahan Raja Aur Kuning ke daerah Jambi menyebabkan Sungai yang mengalir di samping kerajaan Koto Alang diberi nama Sungai Salo, artinya Raja Bukak Selo (buka sila) karena kalah dalam peperangan. Sedangkan Patih dan Temenggung lari ke Gunung Merapi (Sumatra Barat) di mana keduanya mengukir sejarah Sumatra Barat, dengan berganti nama Patih menjadi Dt. Perpatih nan Sabatang dan Temenggung berganti nama menjadi Dt. Ketemenggungan.

Tidak lama kemudian, pembesar-pembesar kerajaan Kandis mati terbunuh diserang oleh Raja Sintong dari Cina belakang, dengan ekspedisinya dikenal dengan ekspedisi Sintong. Tempat berlabuhnya kapal Raja Sintong, dinamakan dengan Sintonga. Setelah mengalahkan Kandis, Raja Sintong beserta prajuritnya melanjutkan perjalanan ke Jambi. Setelah kalah perang pemuka kerajaan Kandis berkumpul di Bukit Bakar, kecemasan akan serangan musuh, maka mereka sepakat untuk menyembunyikan Istana Dhamna dengan melakukan sumpah. Sejak itulah Istana Dhamna hilang, dan mereka memindahkan pusat kerajaan Kandis ke Dusun Tuo (Teluk Kuantan sekarang).

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini dikelompkkan menjadi dua, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian lanjutan. Penelitian pendahuluan terdiri dari mengumpulkan cerita/tombo/mitologi di daerah Lubuk Jambi dengan melakukan wawancara dengan pemangku adat setempat. Kemudian melakukan analisis topografi untuk mencari titik lokasi yang diduga kuat sebagai lokasi kerajaan. Tahap berikutnya adalah melakukan ekspedisi/pencarian lokasi. Penelitian lanjutan adalah penelitian arkeologis untuk membuktikan kebenaran cerita/tombo. Data yang didapatkan di lokasi dianalisis dan dicari keterkaitannya dengan bukti sejarah dan cerita di daerah sekitarnya (Jambi dan Minangkabau). Penelitian pendahuluan mulai dilaksanakan pada bulan September 2008 sampai April 2009, sementara penelitian lanjutan belum dilaksanakan karena keterbatasan sumberdaya.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Lokasi Kerajaan Kandis

Analisis topografi yang dilakukan pada peta satelit yang diambil dari google earth, ditemukan lokasi yang dicirikan di dalam tombo/cerita (bukit yang dikelilingi oleh sungai). Daerah tersebut berada pada titik 0042’58 LS dan 101020’14 BT (Gambar 1) atau berada hampir di titik tengah pulau Sumatra (perbatasan Sumatra Barat dan Riau). Lokasinya berada di tengah hutan adat Lubuk Jambi, oleh pemerintah dijadikan sebagai kawasan hutan lindung yang dinamakan dengan hutan lindung Bukit Betabuh. Jarak lokasi dari jalan lintas tengah Sumatra lebih kurang 10 km ke arah barat, dengan topografi perbukitan.

Lokasi kandis atlantis

 

 

 

 

 

 

Gambar 1 Hipotesa Lokasi Istana Dhamna

Pencarian lokasi/ekspedisi dilakukan dengan peralatan navigasi darat sederhana, yaitu menggunakan peta, kompas, dan teropong binokuler. Pada lokasi yang dituju, ditemukan hal-hal yang mencirikan bukit tersebut sebagai peninggalan peradaban manusia. Lebih kurang 2 km sebelum Bukit  Bakar ditemukan batu karst/karang laut yang berjejer, batu ini diduga sebagai pagar lingkar luar kerajaan (Gambar 2)

1

Gambar 2 Batu Karst yang diduga sebagai pagar lingkar luar kerajaan

Pada bukit yang dikelilingi oleh sungai yang sangat jernih, pada bagian puncaknya ditemukan batu karst yang memenuhi puncak bukit (Gambar 3). Batu karst itu pada lereng bagian timur dan utara tersingkap, sedangkan lereng selatan dan barat tertimbun. Lereng tenggara ditemukan seperti tiang batu yang diduga bekas menara istana (Gambar 4).

2

 

Gambar 3 Batu Karst yang memenuhi puncak bukit

Gambar 4 Tiang batu yang diduga bekas menara istana

Pada lereng timur bukit sebelah atas kira-kira 1200 m dari sungai ditemukan mulut goa yang diduga pintu istana, akan tetapi pintu ini pada bagian dalam sudah tertutup oleh reruntuhan batu. Pintu goa ini tingginya 5 meter dengan ruangan di dalamnya sejauh 3 meter, dan dalam goa tersebut terlihat seperti ada ruangan besar di dalamnya namun sudah tertutup (Gambar 5).5

Gambar 5 Mulut goa yang diduga pintu masuk istana

Pada lereng bukit bagian selatan sampai ke barat ditemukan teras sebanyak tiga tingkat, diduga bekas cincin air (Gambar 6), sementara lereng utara sampai timur sangat curam dan terlihat seperti terjadi erosi yang parah. Teras ini lebarnya rata-rata 4 m, jarak antara sungai dengan teras pertama kira-kira 200 m, teras pertama dengan teras kedua kira-kira 400 m, teras kedua dengan teras ketiga kira-kira 500 m dan panjang lereng diperkirakan 1500 m. Berdasarkan analisa di peta bukit ini dari timur ke barat berdiameter 3000 m, dan dari utara ke selatan berdiameter 3000 m, beda elevasi antara sungai dengan puncak bukit 245 m. Pada lereng barat daya, kira-kira pada ketinggian lereng 800 m ditemukan mata air yang mengalir deras. Ukuran ini berdasarkan perkiraan di lapangan dan  pengukuran di peta satelit. Untuk mendapatkan ukuran sebenarnya perlu pengukuran dilapangan.

Gambar 6  Teras yang diduga bekas cincin air

Gambar 7 Sketsa Lokasi situs kerajaan KandisTitik Lokasi Kandis

Melihat ciri-ciri atau karakter lokasi, lokasi ini sangat mirip dengan sketsa kerajaan Atlantis yang ditulis dalam mitologi Yunani “Timeus dan Critias” karya Plato (360 SM). Mitologi ini menyebutkan “Poseidon mengukir gunung tempat kekasihnya tinggal menjadi istana dan menutupnya dengan tiga parit bundar yang lebarnya meningkat, bervariasi dari satu sampai tiga stadia dan terpisah oleh cincin tanah yang besarnya sebanding”. Bangsa Atlantis lalu membangun jembatan ke arah utara dari pegunungan, membuat rute menuju sisa pulau. Mereka menggali kanal besar ke laut, dan di samping jembatan, dibuat gua menuju cincin batu sehingga kapal dapat lewat dan masuk ke kota di sekitar pegunungan; mereka membuat dermaga dari tembok batu parit. Setiap jalan masuk ke kota dijaga oleh gerbang dan menara, dan tembok mengelilingi setiap cincin kota. Tembok didirikan dari bebatuan merah, putih dan hitam yang berasal dari parit, dan dilapisi oleh kuningan, timah dan orichalcum (perunggu atau kuningan). Ada kemiripan mitologi ini dengan mitologi yang ada di Lubuk Jambi.

Gambar 8 Perspektif Istana Dhamna menggunakan Sketsa Kerajaan AtlantisPerspektif

Ini hanya sebuah dugaan yang belum dibuktikan secara ilmiah, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Survei arkeologi yang dilakukan ke lokasi belum bisa menyimpulkan lokasi ini sebagai peninggalan kerajaan karena belum cukup barang bukti untuk menyimpulkan seperti itu. Namun sudah dapat dipastikan bahwa daerah tersebut pernah dihuni atau disinggahi manusia dulunya.

Analisa Mitologi Minangkabau vs Mitologi Lubuk Jambi

Terlepas dari benar tidaknya sebuah mitologi, kesamaan cerita dalam mitos tersebut akan mengantarkan pada suatu titik terang. Tambo Minangkabau begitu indah didengar ketika pesta nikah kawin dalam bentuk pepatah adat menunjukkan kegemilangan masa lalu. Tambo Minangkabau dan Tombo Lubuk Jambi, dua cerita yang bertolak belakang. Minangkabau mengatakan bahwa nenek moyangnya adalah Sultan Maharaja Diraja putra Iskandar Zulkarnain yang berlabuh di puncak gunung merapi. Air laut semakin surut keturunan Maharaja Diraja berkembang di sana hingga menyebar kebeberapa daerah di Sumatra. Lain halnya dengan tambo Lubuk Jambi, tambo itu mengatakan bahwa nenek moyangnya adalah Maharaja Diraja putra Iskandar Zulkarnain, berlabuh di Bukit Bakar dan membangun peradaban di sana. Dari Lubuk Jambi keturunan-keturunannya menyebar ke Minangkabau dan Jambi. Namun tambo tidak menyebutkan tahun. Itulah sebabnya daerah ini dinamakan Lubuk Jambi yang berarti asalnya (lubuk) orang-orang Jambi. Menurut ceritanya, Kandis sejak kalah perang dalam ekspedisi Sintong dan penyembunyian peradaban mereka ceritanya disampaikan secara rahasia dari generasi ke generasi oleh Penghulu Adat atau dikenal dalam istilahnya ”Rahasio Penghulu”. Namun kebenaran cerita rahasia ini perlu dibuktikan.

Dari kedua tambo tersebut di atas, dapat ditarik benang merah yaitu ”sama-sama menyebutkan bahwa nenek moyang mereka adalah  Iskandar Zulkarnain”. Tapi dalam catatan sejarah yang diketahui Iskandar Zulkarnain (Alexander the Great/ Alexander Agung) tidak mempunyai keturunan.

Plato-Atlantis-Iskandar Zulkarnain-Kandis

Plato, filosof kelahiran Yunani (Greek philosopher)  yang hidup 427-347 Sebelum Masehi (SM). Plato adalah salah seorang murid Socrates, filosof arif bijaksana, yang kemudian mati diracun oleh penguasa Athena yang zalim pada tahun 399 SM. Plato sering bertualang, termasuk perjalanannya ke Mesir. Pada tahun 387 SM dia mendirikan Academy di Athena, sebuah sekolah ilmu pengetahuan dan filsafat, yang kemudian menjadi model buat universitas moderen. Murid yang terkenal dari Academy tersebut adalah Aristoteles yang ajarannya punya pengaruh yang hebat terhadap filsafat sampai saat ini.

Dengan adanya Academy, banyak karya Plato yang terselamatkan. Kebanyakan karya tulisnya berbentuk surat-surat dan dialog-dialog, yang paling terkenal mungkin adalah Republic. Karya tulisnya mencakup subjek yang terentang dari ilmu pengetahuan sampai kepada kebahagiaan, dari politik hingga ilmu alam. Dua dari dialognya “Timeus dan Critias” memuat satu-satunya referensi orisinil tentang pulau Atlantis.

Bagaimana hubungannya dengan Iskandar Zulkarnain, Iskandar adalah anak dari Raja Makedonia, Fillipus II. Ketika berumur 13 tahun, Raja Filipus mempekerjakan filsuf Yunani terkenal, Aristoteles, untuk menjadi guru pribadi bagi Iskandar. Dalam tiga tahun, Aristoteles mengajarkan berbagai hal serta mendorong Iskandar untuk mencintai ilmu pengetahuan, kedokteran, dan filosofi.

Iskandar Zulkarnain murid dari Aristoteles, dan Aristoteles murid dari Plato. Dari hubungan ini dapat diduga bahwa keturunan Iskandar Zulkarnain yang sampai ke Lubuk Jambi terinspirasi untuk membangun sebuah peradaban/Negara yang ideal seperti Atlantis. Maka mereka membangun sebuah istana dhamna “sebuah replika Atlantis”. Namun semua ini masih perlu pengkajian yang lebih mendalam.

KESIMPULAN

Dari penelitian pendahuluan ini dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Bukit yang terletak pada 0042’58 LS dan 101020’14 BT diduga sebagai situs peninggalan Kandis yang dimaksudkan didalam tombo/cerita adat.
  2. Kerajaan Kandis diduga sebagai peradaban awal di nusantara.
  3. Kerajaan Kandis merupakan replika dari kerajaan Atlantis yang hilang.

Kesimpulan ini masih bersifat dugaan atau hipotesa untuk melakukan penelitian selanjutnya. Oleh karena itu penelitian arkeologis akan menjawab kebenaran dugaan dan kebenaran tombo/mitos yang ada ditengah-tengah masyarakat.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pemangku Adat Kenogorian Lubuk Jambi Gajah Tunggal (Mahmud Sulaiman Dt. Tomo, Syamsinar Dt. Rajo Suaro, Danial Dt. Mangkuto Maharajo Dirajo, Sualis Dt. Paduko Tuan, dan Hardimansyah Dt. Gonto Sembilan), Drs. Sukarman, Mistazul Hanim, Nurdin Yakub Dt. Tambaro, Abdul Aziz Dt. Dano, Bastian Dt. Paduko Sinaro, Ramli Dt. Meloan, Marjalis Dt. Rajo Bandaro, dan Syaiful Dt. Paduko. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Meutia Hestina, Apriwan Bandaro, dan teman-teman yang membantu penulis dalam ekspedisi: Mudarman, bang Sosmedi, Yogie, Nepriadi, Zeswandi, bang Izul, Diris, Ikos, dan Yusran. Mas Sam dan Erli terima kasih atas informasinya.

DAFTAR PUSTAKA

Datoek Toeah. 1976. Tambo Alam Minangkabau. Pustaka Indonesia. Bukit Tinggi.

Graves, E. E. 2007. Asal-usul Elite Minangkabau Modern. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Hall, D. G. E. tanpa tahun. Sejarah Asia Tenggara. Usaha Nasional. Surabaya.

Kristy, R (Ed). 2007. Alexander the Great. Gramedia. Jakarta.

Kristy, R (Ed). 2006. Plato Pemikir Etika dan Metafisika. Gramedia. Jakarta.

Marsden, W. 2008. Sejarah Sumatra. Komunitas Bambu. Depok.

Olthof, W.L. 2008. Babad Tanah Jawi. Penerbit Narasi. Yogyakarta.

Samantho, A. Y. 2009. Misteri Negara Atlantis mulai tersingkap?. Majalah Madina Jakarta. Terbit Mei 2009.

Suwardi MS. 2008. Dari Melayu ke Indonesia. Penerbit Pustaka Pelajar Yogyakarta.

Wikipedia. Ensiklopedi Bebas. http://wikipedia.org.


[1]Koordinator Tim Penelusuran Peninggalan Kerajaan Kandis di Lubuk Jambi Negeri Gajah Tunggal, Kecamatan Kuantan Mudik Kabupaten Kuantan Singingi Propinsi Riau

[2] Dikumpulkan dari cerita yang diwarisi secara turun temurun oleh Penghulu Adat Lubuk Jambi

Selasa, 17 November 2009

“Out of Sundaland” : Perdebatan Terbaru



Rekan-rekan yang suka membaca atau mempelajari buku-buku tentang migrasi manusia modern berdasarkan analisis genetika molekuler (DNA), pasti pernah membaca nama Stephen Oppenheimer. Oppenheimer adalah salah satu tokoh utama bidang ini, yang produktif menuliskan hasil-hasil risetnya. Saat ini, Oppenheimer yang semula seorang dokter anak dan pernah bertugas di Afrika, Malaysia, dan Papua New Guinea; adalah research associate di Institute of Human Sciences, Oxford University. Salah satu bukunya yang terkenal “Out of Eden : the Peopling of the World” (2004), cetakan terbarunya baru saya beli dua minggu lalu. Ini adalah sebuah buku yang komprehensif tentang sejarah penghunian semua daratan di Bumi oleh manusia modern berdasarkan analisis DNA pada semua bangsa. Oppenheimer memang pernah terlibat dalam suatu proyek raksasa untuk pemetaan genome manusia seluruh dunia. Dari situ ia mendapatkan data untuk menyusun bukunya. Melalui buku ini, kita bisa menebak dengan mudah bahwa Oppenheimer adalah seorang pembela pemikiran migrasi manusia : Out of Africa, dan menyerang Multiregional. Saya tak akan menceritakan buku tersebut, saya akan bercerita tentang bukunya yang lain, yang menyulut perdebatanl.

Tahun 1998, Oppenheimer menerbitkan buku yang menggoncang kalangan ilmuwan arkeologi dan paleoantropologi,”Eden in the East : The Drowned Continent of Southeast Asia”. Buku ini penting bagi kita sebab Oppenheimer mendasarkan tesisnya yang kontroversial itu atas geologi Sundaland. Secara singkat, buku ini mengajukan tesis bahwa Sundaland adalah Taman Firdaus (Taman Eden), suatu kawasan berbudaya tinggi, tetapi kemudian tenggelam, lalu para penghuninya mengungsi ke mana-mana : Eurasia, Madagaskar, dan Oseania dan menurunkan ras-ras yang baru. Dari buku Oppenheimer inilah pernah muncul sinyalemen bahwa Sundaland adalah the Lost Atlantis – benua berkebudayaan maju yang tenggelam.

Tesis Oppenheimer (1998) jelas menjungkirbalikkan konsep selama ini bahwa orang-orang Indonesia penghuni Sundaland berasal dari daratan utama Asia, bukan sebaliknya. Apakah Oppenheimer benar ? Penelitian dan perdebatan atas tesis Oppenheimer telah berjalan 10 tahun. Saya ingin menceritakan beberapa perdebatan terbaru. Sebelumnya, saya ingin sedikit meringkas tesis Oppenheimer (1998) itu.

Dalam “Eden in the East: the Drowned Continent of Southeast Asia”, Oppenheimer berhipotesis bahwa bangsa-bangsa Eurasia punya nenek moyang dari Sundaland. Hipotesis ini ia bangun berdasarkan penelitian atas geologi, arkeologi, genetika, linguistk, dan folklore atau mitologi. Berdasarkan geologi, Oppenheimer mencatat bahwa telah terjadi kenaikan muka laut dengan menyurutnya Zaman Es terakhir. Laut naik setinggi 500 kaki pada periode 14.000-7.000 tahun yang lalu dan telah menenggelamkan Sundaland. Arkeologi membuktikan bahwa Sundaland mempunyai kebudayaan yang tinggi sebelum banjir terjadi. Kenaikan muka laut ini telah menyebabkan manusia penghuni Sundaland menyebar ke mana-mana mencari daerah yang tinggi. Terjadilah gelombang besar migrasi ke arah Eurasia.

Oppenheimer melacak jalur migrasi ini berdasarkan genetika, linguistik, dan folklore. Sampai sekarang orang-orang Eurasia punya mitos tentang Banjir Besar itu, menurut Oppenheimer itu diturunkan dari nenek moyangnya. Hipotesis Oppenheimer (1998) yang saya sebut ”Out of Sundaland” punya implikasi yang luas. Bahkan ada yang menyebutkan bahwa Taman Firdaus (Eden) itu bukan di Timur Tengah, tetapi justru di Sundaland. Adam dan Hawa bukanlah ras Mesopotamia, tetapi ras Sunda (!). Nah…implikasinya luas bukan ? Hipotesis Oppenheimer (1998) segera menyulut perdebatan baik di kalangan ahli genetika, linguistik, maupun mitologi. Saya akan meringkas beberapa perdebatan pro dan kontra yang terbaru (2007-2008). Di buku-bukunyanya yang terbaru (Out of Eden, 2004; dan Origins of the British, 2007), Oppenheimer tak menyebut sekali pun tesis Sundaland-nya itu.

Sanggahan terbaru datang dari bidang mitologi dalam sebuah Konferensi Internasional Association for Comparative Mythology yang berlangsung di Edinburgh 28-30 Agustus 2007. Dalam pertemuan itu, Wim van Binsbergen, seorang ahli mitologi dari Belanda, mengajukan sebuah makalah berjudul ”A new Paradise myth? An Assessment of Stephen Oppenheimer’s Thesis of the South East Asian Origin of West Asian Core Myths, Including Most of the Mythological Contents of Genesis 1-11”. Makalah ini mengajukan keberatan-keberatan atas tesis Oppenheimer bahwa orang-orang Sundaland sebagai nenek moyang orang-orang Asia Barat. Binsbergen (2007) menganalisis argumennya berdasarkan complementary archaeological, linguistic, genetic, ethnographic, dan comparative mythological perspectives.

Menurut Binsbergen (2007), Oppenheimer terutama mendasarkan skenario Sundaland-nya berdasarkan mitologi. Pusat mitologi Asia Barat (Taman Firdaus, Adam dan Hawa, kejatuhan manusia dalam dosa, Kain dan Habil, Banjir Besar, Menara Babel) dihipotesiskan Oppenheimer sebagai prototip mitologi Asia Tenggara/Oseania, khususnya Sundaland. Meskipun Oppenheimer telah menerima tanggapan positif dari para ahli arkeologi yang punya spesialisasi Asia Tenggara, Oppenheimer tak punya bukti kuat atau penelitian detail untuk arkeologi trans-kontinental dari Sundaland ke Eurasia.

Binsbergen (2007) menantang hipotesis Oppenheimer atas argument detailnya menggunakan comparative mythology. Beberapa keberatan atas hipotesis tersebut : (1) keberatan metodologi (bagaimana mitos di Sundaland/Oseania yang umurnya hanya abad ke-19 AD dapat menjadi nenek moyang mitos di Asia Barat yang umurnya 3000 tahun BC ?), (2) kesulitan teoretis akan terjadi membandingkan dengan yakin mitos yang umurnya terpisah ribuan tahun dan jaraknya lintas-benua, juga yang sebenarnya isi detailnya berbeda; (3) pandangan monosentrik (misal dari Sundaland) saja sudah tak sesuai dengan sejarah kebudayaan manusia yang secara anatomi modern (lebih muda daripada Paleolitikum bagian atas); (4) Oppenheimer tak memasukkan unsur katastrofi alam yang bisa mengubah jalur migrasi manusia.; (5) mitos bahwa Banjir Besar menutupi seluruh dunia harus ditafsirkan atas pandangan dunia saat itu, bukan pandangan dunia seperti sekarang.

Dalam pertemuan comparative mythology sebelumnya (Kyoto, 2005, Beijing 2006), Binsbergen mengajukan pandangan yang lebih luas dan koheren tentang sejarah panjang Old World mythology yang mengalami transmisi yang komplek dan multisentrik, tak rigid monosentrik seperti hipotesis Oppenheimer (1998). Winsbergen juga mendukung tesisnya itu berdasarkan genetika molekuler menggunakan mitochondrial DNA type B.

Itulah sanggahan terbaru atas tesis Oppenheimer (1998). Dukungan terbaru untuk hipotesis Oppenheimer (1998), baru-baru ini datang dari sekelompok peneliti arkeogenetika yang sebagian merupakan rekan sejawat Oppenheimer. Kelompok peneliti dari University of Oxford dan University of Leeds ini mengumumkan hasil peneltiannya dalam jurnal “Molecular Biology and Evolution” edisi Maret dan Mei 2008 dalam makalah berjudul “Climate Change and Postglacial Human Dispersals in Southeast Asia” (Soares et al., 2008) dan “New DNA Evidence Overturns Population Migration Theory in Island Southeast Asia” (Richards et al., 2008).

Richards et al. (2008) berdasarkan penelitian DNA menantang teori konvensional saat ini bahwa penduduk Asia Tenggara saat ini (Filipina, Indonesia, dan Malaysia) datang dari Taiwan 4000 (Neolithikum) tahun yang lalu. Tim peneliti menunjukkan justru yang terjadi adalah sebaliknya dan lebih awal, bahwa penduduk Taiwan berasal dari penduduk Sundaland yang bermigrasi akibat Banjir Besar di Sundaland.

Pemecahan garis-garis mitochondrial DNA (yang diwarisi para perempuan) telah berevolusi cukup lama di Asia Tenggara sejak manusia modern pertama kali dating ke wilayah ini sekitar 50.000 tahun yang lalu. Ciri garis-garis DNA menunjukkan penyebaran populasi pada saat yang bersamaan dengan naiknya mukalaut di wilayah ini dan juga menunjukkan migrasi ke Taiwan, ke timur ke New Guinea dan Pasifik, dan ke barat ke daratan utama Asia Tenggara – dalam 10.000 tahun.

Sementara itu Soares et al. (2008) menunjukkan bahwa haplogroup E, suatu komponen penting dalam keanekaragaman mtDNA (DNA mitokondria), berevolusi in situ selama 35.000 tahun terakhir, dan secara dramatik tiba-tiba menyebar ke seluruh pulau-pulau Asia Tenggara pada periode sekitar awal Holosen, pada saat yang bersamaan dengan tenggelamnya Sundaland menjadi laut-laut Jawa, Malaka, dan sekitarnya. Lalu komponen ini mencapai Taiwan dan Oseania lebih baru, sekitar 8000 tahun yang lalu. Ini membuktikan bahwa global warming dan sea-level rises pada ujung Zaman Es 15.000–7.000 tahun yang lalu, sebagai penggerak utama human diversity di wilayah ini.

Oppenheimer dalam bukunya “Eden in the East” (1998) itu berhipotesis bahwa ada tiga periode banjir besar setelah Zaman Es yang memaksa para penghuni Sundaland mengungsi menggunakan kapal atau berjalan ke wilayah-wilayah yang tidak banjir. Dengan menguji mitochondrial DNA dari orang-orang Asia Tenggara dan Pasifik, kita sekarang punya bukti kuat yang mendukung Teori Banjir. Itu juga mungkin sebabnya mengapa Asia Tenggara punya mitos yang paling kaya tentang Banjir Besar dibandingkan bangsa-bangsa lain.

Nah, begitulah, cukup seru mengikuti perdebatan yang meramu geologi, genetika, biologi molekuler, linguistik, dan mitologi ini. Pihak mana yang mau didukung atau disanggah ? Sebaiknya, masuklah lebih detail ke masalahnya agar argument kita kuat, begitulah menilai perdebatan.

Oleh : Awang H. Satyana

(Video) INDONESIA : THE LOST OF ATLANTIS ISLAND

(Video) INDONESIA : THE LOST OF ATLANTIS ISLAND

1997 Interview with Prof. Arysio Santos - Atlantis, The Lost Continent Finally Found



1997 Interview with Prof. Arysio Santos - Atlantis, The Lost Continent Finally Found